Cerpen Horor/Baur 2

 



¹Baagaman

  Tiga bayangan manusia yang kini kaulihat sedang berjalan beriringan di antara pepohonan raksasa nun di sana tidak lain adalah bayangan tubuh kami bertiga. Di senja ini, di tengah hutan belantara ini kami bertujuan untuk mencari barang sejumput rezeki dari tangan Ilahi.

  Kami adalah para penjelajah hutan sekaligus penebang kayu profesional. Pihak pemerintah boleh mengatai kami sebagai para penebang hutan ilegal, tetapi ingat satu hal. Perut para konglomerat itu menjadi buncit lantaran makan dari uang negara, sedangkan kami hanyalah sekelompok rakyat jelata yang kurus kering lantaran kerap mengalami kepayahan demi menghidupi negara. Catat itu baik-baik!

  Ditambah, keahlian kami cuma ini. Tebang kayu, jual. Tebang lagi, jual lagi. Ini demi anak istri, Bung! Apa pun harus kami lakukan! Belum lagi istri-istri kami minta bedak gincu! Belum lagi anak-anak buah kami yang baru belajar jalan, mereka selalu butuh popok agar mereka tidak sampai kencing berak sembarangan!

  "Masih jauhkah?" aku bertanya ke orang di depanku.

  "Sampai kita berhasil menemukan pohon pesanan."

  Sueb namanya. Dialah orang barusan yang kulempar tanya. Sedangkan, orang yang berjalan di belakangku bernama Patir. Patir sangat mudah dikenali karena postur jangkungnya yang mencapai hampir dua setengah meter. Di kampungku dirinya kerap dipanggil sebagai manusia langka lantaran posturnya tadi.

  "Di antara kalian ada yang bawa terasikah?"

  "Sudah gila kali kau!"

  "Hei, Senu, jangan omong yang bukan-bukan," Patir menegur. Suaranya santai sekali. "Kudengar, di Basuling ini terdapat banyak sekali binatang buasnya."

  "Entah mengapa aku jadi merasa tertantang," jawabku.

  "Macan, Sen," Sueb menyahut tanpa menoleh. "Macan di pegunungan ini tak terhitung jumlahnya. Kalau masih siang begini mereka tidak berbahaya. Bisa diburu. Lain cerita kalau sudah malam."

  "Menjadi buas?"

  "Sangat agresif! Berlendir! Kulitmu pun bisa lepas begitu kau terkena cipratan air ludahnya!"

  "Oh, betapa gilanya!"

  "Aku serius, Kawan. Selain itu mereka juga tak bisa dilawan. Melawan mereka berarti mati konyol."

  "Sebab?"

  "Pergeseran waktu tadi, Sen. Ketika siang, darah mereka normal layaknya hewan biasa, tetapi ketika malam entah kenapa darah di tubuh mereka bisa berubah menjadi semacam senyawa kimia yang berbahaya."

  "Zat asam?"

  "Seperti itulah."

  "Ada bukti?"

  "Wawasanmu selama ini sempit sekali, Sen. Sudah dua orang warga di kampung kita pulang innalillahi usai mereka mencoba bertarung melawan sekawanan warewolf di sini."

  "Jujur. Aku baru tahu sekarang."

  "Tetapi tenang saja. Kita punya manusia langka di sini. Tir?"

  "Kalau mereka sampai muncul, aku yang pertama lari. Pokoknya persetan dengan kalian berdua!"

  Basuling adalah sebuah pegunungan sekaligus sebuah hutan belantara yang sangat jauh dari pemukiman penduduk. Jaraknya dari kampungku, Nateh, bisa mencapai sekitar tiga puluh kilometer. Jarak itu masih belum dihitung bersama sungai-sungainya yang jumlahnya hingga puluhan, yang mana bentangan tiap-tiap tepiannya rata-rata sejauh lima puluh hingga seratus meter lebih.

  Dari sepanjang perjalanan kami tadi, kami hanya menemukan beberapa pohon besar yang berhasil ditebang oleh penebang asing. Ini membuktikan bahwa hutan ini masih bisa dikategorikan sebagai hutan perawan karena jarang dijamah orang. Ya, mungkin karena jaraknya tadi yang menjadi kendala.

  Kami juga tak mungkin sudi datang ke hutan ini jika saja pemesan tidak banyak maunya. Guntur namanya. Dia adalah seorang kakek tujuh puluh tahunan yang berniat akan membangunkan sebuah rumah mungil untuk cucu lelakinya yang baru menikah.

  "Kita sudah hampir dekat," ujar Sueb selaku pimpinan regu. "Kalau di antara kalian ada yang melihat pohon ulin, segera beri tahu aku."

  "Siap, Kapten!" jawabku.

  Sekarang kami harus mendaki salah satu anak gunung ini. Perjalanan kali ini menjadi semakin sulit. Medan yang terjal dan penuh semak belukar lembab yang ukurannya hampir sebesar tubuh seekor kerbau terpaksa kami lalui. Belum lagi cuaca di atas sini mulai terasa semakin beku. Sesekali kulihat wajah Si Manusia Langka yang masih berjalan buntut di belakangku. Pucat! Biru!

  "Ah! Itu!" Patir lekas berseru seraya menunjuk ke arah sebuah pohon yang berwarna cokelat pekat. Dia lalu berlari menghampiri pohon itu sampai kami agak kepayahan mengejarnya. "Benar, Su! Ini ulin!"

  "Jeli juga matamu, Tir!" pujiku.

  "Bagaimana? Eksekusi sekarang?"

  "Jangan dulu," jawab Sueb sambil mengamati pohon di depan kami dari atas sampai bawah. Ia lalu menggeleng. "Satu pohon ini hanya mampu menghasilkan enam batang. Kita perlu ulin lain untuk menambah jumlahnya. Kita tandai dulu tempat ini. Nanti kalau kita sudah menemukan ulin tambahan, baru giliran pohon ini yang kita potong."

  Kami setuju dengan usul itu. Kami pun kembali melanjutkan pencarian pohon ulin di hutan ini. Ini bukan usaha yang mudah. Memang terdapat banyak pohon ulin di kawasan ini, namun ukurannya rata-rata masih relarif kecil. Ulin dengan silinder batang kurang dari seratus lima puluh sentimeter bukanlah tujuan prioritas kami.

  Malam sudah hampir tiba, sementara  kami baru menemukan dua pohon ulin yang sudah direncanakan untuk dipotong. Jarak antara kedua pohon itu juga cukup jauh. Astaga, itu artinya malam ini kami akan menginap di hutan ini. Nasib, nasib. Bersyukur. Andai di antara kalian ada yang senasib dengan kami, maka janganlah pernah sekali-kali kalian menyalahkan orangtua karena dulu kalian telah menolak tawaran mereka agar menjadi seorang sarjana. Salahkan diri kalian sendiri!

  Cuaca di pegunungan ini semakin dingin terasa. Aku bisa merasakan hawanya yang telah menjalar ke setiap sumsum tulangku. Hingga sebelum cuaca ini berhasil membunuh kami, dengan sangat terpaksa kami mulai memasang sebuah tenda darurat. Di sini kami bertiga berbagi tugas. Aku sendiri ditugaskan sebagai pembangun tenda, Sueb bertugas menyalakan api, sedangkan Patir bertugas sebagai pengumpul kayu bakar.

  Setengah jam kemudian malam sudah melingkupi seluruh langit di kawasan ini. Kegelapan pun telah merajai seisi alam sekitar kami hingga sejauh mata ini memandang. Berbagai macam suara hewan liar juga mulai menggema di sekeliling kami.

  Untungnya tenda yang sejak tadi kubuat telah rampung dan Sueb juga telah berhasil dengan api unggunnya. Namun omong-omong, yang jadi permasalahannya sekarang adalah Patir. Teman kami yang perkasa itu belum juga kembali sampai sekarang.

  "Pergi ke mana Si Manusia Langka itu kira-kira?" gumam Sueb. Sama denganku. Meski tidak terang-terangan, aku bisa melihat jelas kerisauan yang terlintas di wajahnya.

  "Aku juga tidak tahu," jawabku.

  "Jangan bilang kalau dia sedang tersesat. Bakal susah carinya."

  "Kalau memang tersesat, seharusnya dia teriak. Jadi kita di sini juga bisa dengar."

  "Teriak malam-malam di tengah Hutan Basuling ini bukannya yang datang kita, malah serudukan babi kampang. Sudahlah, aku akan mencarinya. Dia tadi lewat sana, bukan?"

  "Hei, kaumau meninggalkanku di sini?" aku mulai merasa ngeri-ngeri di ujung lidah.

  "Aku akan kembali!"

  "Hei, mungkin dia sudah mati sekarang!"

  "Kau jangan asal omong, Sen. Hutan ini, hutan! Sini, mana senternya?"

  Aku baru saja hendak mencarikan senter darurat yang kusimpan di dalam ²butahku, hingga sebuah seruan datang dari arah belakang kami.

  "Patir, kaukah itu?" tanya Sueb kepada sosok yang baru muncul itu.

  "Ya, kaukira siapa lagi, Bung?"

  Kami lega. Teman kami, Si Manusia Langka telah kembali. Dan bagusnya dia datang tidak hanya dengan seikat kayu bakar, tetapi juga bersama tiga ekor anak burung karuwang yang sudah disembelihnya. Daging hewan buruan itu pun dengan lekas kami bersihkan, panggang, terakhir memindahkan ke usus dua belas jari.

  "Aku tidak mungkin tersesat, Su," ujarnya seraya mengisap rokok kreteknya dalam-dalam. "Aku sudah pernah masuk hutan ini. Memang waktunya sudah cukup lama, tetapi aku masih ingat."

  "Kukira kau sudah mati, Kawan."

  "Seperti biasa doamu selalu tidak terdengar bagus, Sen," jawabnya. "Aku terlambat karena harus memburu anak-anak burung itu. Kulihat mereka sedang resah di sarangnya karena ditinggal sang induk. Jadi, ketimbang mereka mati kelaparan, ya, baiknya kusikatlah." Kami pun terbahak mendengarnya.

  "Kami senang kau kembali. Baiklah, seperti biasa malam ini kita akan bertugas secara sif. Siapa yang mau jaga lebih dulu? Sennu? Baik. Kau akan berjaga hingga tiga jam ke depan. Usai dirimu, silakan kaubangunkan salah satu dari kami."

  Aku sudah sering mengangkat tangan duluan agar mendapat sif jaga pertama. Alasannya aku memang suka bergadang, baik saat aku sedang di rumah maupun di tengah hutan sekali. Hanya saja kalau di rumah aku bisa bergadang sambil berselancar di internet. Kalau di hutan, mah, jangankan internet, tower sinyal pun tak tampak, oi!

  Kesunyian di malam yang semakin larut ini terasa semakin mencekam. Suara-suara yang tidak mengenakkan dari sekawanan babi liar yang lapar turut terdengar olehku. Suaranya memang terdengar jauh, tetapi itu pun sudah cukup membuat segenap bulu kudukku merinding.

  Sesekali aku harus beringsut keluar dari tenda hanya untuk mengganti kembali kayu bakar yang sudah mengabu dengan yang baru. Api unggun ini harus selalu hidup, setidaknya sampai kegelapan ini berubah menjadi pagi yang terang.

  Satu jam telah berlalu dengan aman. Namun, ketika menuju menit-menit berikutnya tiba-tiba saja Patir terbangun dari pembaringannya sambil terbatuk-batuk. Suara batuknya sangat berat, bahkan ia harus menelan pilnya, meskipun usahanya itu tidak membantu.

  "Kau baik-baik saja, Bung?" tanyaku prihatin.

  "Tidak terlalu baik," jawabnya dengan terengah-engah dan sambil memegangi dadanya. Wajahnya yang tadinya segar dengan sekejap telah berubah menjadi amat pucat. "Kambuhnya makin berat saja. Ukh!"

  "Hei, jangan bicara dulu. Sebaiknya kontrol pernapasanmu. Ya Allahu, Ya Rabbi!"

  Aku histeris begitu melihat pria itu mengalami batuk yang lebih parah lagi. Ia batuk sampai mengeluarkan darah dari mulutnya. Darah-darah itu juga sempat mencipratiku.

  "Dinding jantungku rasanya mau jebol!" teriaknya. Ia lalu menggelepar-gelepar di lantai tenda.

  "Su, bangun, Su! Darurat ini, Su!" panggilku kepada temanku yang masih pulas.

  "Ada apa? Baru satu jam. Woi, kenapa dia, woi! Astaga!"

  Kami berdua buru-buru mengekang kedua lengan teman kami, menahannya dengan kedua lutut agar dirinya tidak menggelepar lagi seperti seekor ikan yang kena pangkung di kepala. Namun, usaha kami gagal. Patir, meskipun ia sudah sekarat, tetapi tenaganya masih macam seekor sapi beranak dua. Stamina serta keperkasaannya benar-benar melampaui kami bahkan sampai mampu menerbangkan tubuh kami hingga ke sudut tenda.

  "Bagaimana ini, Su!" tanyaku panik.

  "Ini gawat! Dia bisa mati kehabisan napas!"

  Untuk kali berikutnya kami benar-benar mengalami kesulitan saat mencoba mendekati pria itu. Sebab, dia terus saja meninju dan menendang ke segala arah, dan gerakannya yang kokoh itu bisa saja malah mengenai kami.

  Hingga kurang dari tiga puluh detik kemudian, gerakannya nan gesit dan strong tadi mulai menunjukkan penurunan yang signifikan. Daya memberontaknya semakin ke sini semakin berkurang, sampai pada saat matanya telah melotot ke atas, mulutnya ternganga, otot-otot di lehernya mengejang, dan jemari-jemarinya yang kelihatannya ingin mencengkeram mangsa, maka dimulai dari situlah ia tak lagi menunjukkan pergerakan sama sekali.

  "Tir," aku coba memanggilnya bersama segenap rasa keberanian yang tersisa di dalam dada. "Bangun, Tir! Sadar!"

  Karena tiada jawaban yang kuperoleh, maka Sueb pun bersegera memeriksa denyut nadi di pergelangan kanan pria yang malang itu. Sueb akhirnya menggeleng kelu.

  "Dia sudah pergi," ucapnya lirih. Aku terkejut dan secara tak sadar tubuhku langsung jatuh ke lantai tenda yang kemudian disambut pula oleh kedua lututku yang mulai bergemetaran. "Patir telah meninggal, Sen."

  Mati di tengah hutan bukanlah dambaan bagi semua orang. Kematian seperti yang baru saja dialami oleh pria ini benar-benar berada di luar dugaan kami. Sejak awal dia sendiri juga tak mungkin berniat mati di sini.

  Siapa juga yang mau mati di tengah hutan? Kalian? Aku yakin kalian akan senantiasa mendekap tangan di dada dan membungkam mulut kalian serapat mungkin ketika kalian ditanya demikian.

  Kami berdua bergegas membuat tandu darurat. Kami berencana akan mengangkut jenazah teman kami dengan tandu ini sampai ke kampung, tidak peduli malam telah semakin larut, semakin jauh meninggalkan kami.

  Ini karena kami tidak mungkin bertahan di sini bersama seonggok mayat, meskipun mayat itu adalah teman kami sendiri. Selain itu kami juga tidak mungkin meninggalkannya seorang diri di hutan ini, sedangkan hutan ini terkenal dengan binatang buas yang tak terhitung jumlahnya. Cara satu-satunya hanya ini.

  Proses pembuatan tandu dengan cepat kami selesaikan. Namun begitu kami baru selesai mengikat mayat di atas tandunya, tiba-tiba terdengarlah oleh kami suara geraman dari beberapa ekor macan yang datangnya tepat di atas kepala kami. Kami berdua yang sudah dirundung tegang sejak tadi lantas jadi saling pandang.

  "Kau dengar itu, Su?" tanyaku mencoba menahan kepanikan yang hendak keluar dari jantung hatiku. Aku bahkan tak berani menatap ke atas!

  "Ya. Mereka sudah mencium aroma mayat ini. Mereka masih jauh. Ayo! Gunakan senter kita! Tidak ada waktu lagi!"

  Kami pun berlari sekuat mungkin sambil terus mengimbangi ayunan tandu yang kami pikul. Kami sungguh kepayahan lantaran beban mayat ini berat sekali. Wajar saja. Posturnya saja sudah tinggi. Mana kekar lagi!

  "Kita akan hanyutkan mayat ini di sungai!" Sueb yang menandu di depanku mengumandangkan rencana baru. "Ada sungai besar berarus sedang yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari sini! Bertahanlah, Sen! Jangan panik!"

  "Aku bukan panik karena takut pada mayat ini! Aku panik pada sekawanan warewolf yang masih mengejar kita!"

  "Terus lari saja! Jarak makhluk bangsat itu masih cukup jauh! Kita perkirakan jarak mereka lewat gonggongan mereka!"

  Benar, hanya itu. Hanya demikianlah satu-satunya cara untuk memperkirakan jarak antara kawanan macan itu dengan posisi diri ini berada. Jika sebelumnya suara mereka terdengar tak jauh dari kepala, itu artinya jarak mereka masih relatif jauh. Jika dikalkulasikan, maka posisi mereka dengan kami masih berjarak di sekitar radius satu kilometer. Dan sekarang, suara raungan mereka kembali terdengar sekitar dua puluh meter di belakang kami. Dengan kata lain, jarak para pengejar kini sudah amat dekat, yakni kurang lebih lima ratus meter di belakang sana.

  Kami telah berhasil menuruni medan yang curam, meskipun sesekali tadi aku sempat tergelincir. Aku tidak peduli dengan keadaan si mayat di atas tandu kami. Pokoknya kami harus terus lari. Lari!

  Sekarang suara lolongan macan-macan itu mulai terkesan sangat jauh. Mendengar suara itu membuatku benar-benar panik setengah mati!

  "Mereka dekat!" Sueb cepat berseru!

  "³Pheh! Apa yang harus kita lakukan sekarang! Kita tidak mungkin memikul mayat seberat ini lebih jauh lagi!"

  "Kita tinggalkan dia! Cepat! Gunakan sarungmu! Buat simpul yang kuat dan gantung di pohon itu! Aku akan berusaha melepas temali yang mengikat mayat ini!"

  Aku pun segera memahami tujuan instruksi itu dengan sesegeranya memanjat ke sebatang pohon karet yang tinggi dan tidak terlalu lebat daunnya. Di dahannya yang paling rendah itulah aku menggantungkan sarungku.

  "Mereka di jarak seratus meter lagi, Bung! Apa kau sudah selesai!" teriakku sesaat tampak olehku ratusan bayangan binatang buas di kejauhan sana. Bayangan-bayangan itu terlihat melompat-lompat dengan lincah dari dahan ke dahan.

  "Sudah! Tarik sarung ini! Jangan sampai lepas! Aku akan membantumu mendorongnya dari bawah!"

  Sarung yang sudah berisikan mayat Patir perlahan kami naikkan ke pohon ini. Setiba di atas ini aku buru-buru mengikat salah satu ujung sarung itu ke dahan yang lain, namun tugasku masih belum sampai di sini. Aku masih harus merebahkan mayat itu ke sarung satunya yang sudah menunggu, mengimbangkan posisinya, dan terakhir ...

  "Taruh sentermu di dalam dekapannya dalam posisi menyala! Sempurna! Itu mereka! Aku sudah melihatnya! Turun, turun, turun! Kabur, Sen! Kita kabur dari sini!"

  Kami berhasil lolos dari kejaran macan-macan kumbang itu. Ya, jelas kami bisa lolos. Sebab, yang diincar oleh binatang-binatang itu hanyalah jasad si mati, bukan kami.

  Aku tidak tahu lagi bagaimana nasib mayat Si Manusia Langka itu. Intinya kami selamat. Kami berhasil tiba di Nateh jelang azan Subuh. Dan sesampainya kami di kampung, tanpa mandi, kami pun langsung masuk masjid tanpa permisi, merebut alat pengeras suara dari tangan seorang muazin, lantas ...

  "Berita duka! Berita duka!" Sueb langsung berteriak panjang macam orang kesurupan. Aku saja sampai kaget. Suaranya kontan menggema di seisi masjid ini. "Patir, Si Manusia Langka di kampung ini sudah mati, Saudara-Saudara! Mayatnya kami gantung di pohon karet Hutan Basuling! Mohon bantuannya!"

  Serempak saja pengumuman yang dilantang dengan sangat nyaring itu membuat semua warga di kampung ini terbangun dari tidurnya. Mereka lantas berduyun-duyun datang ke masjid demi menemui kami.

  "Ya, karena itulah kami terpaksa meninggalkan mayatnya," ujarku usai Sueb menuntaskan ceritanya.

  "Kalau begitu kita harus secepatnya kembali ke Basuling untuk menjemput mayat itu. Patir, Patir. Sudah jangkung, mati malang di hutan lagi."

  "Kami akan memandu perjalanan hingga tiba di sana. Silakan persiapkan apa-apa saja yang kalian butuhkan."

  Sekitar pukul tiga sore rombongan penjemput mayat Patir telah balik ke kampung. Dan, alhamdulillah, mayat teman kami itu masih dalam keadaan utuh saat berhasil kami temukan kembali.

  Lalu, omong-omong, senterku juga sudah kembali ke tanganku. Benda inilah yang terpenting.

Selesai
________
¹baagaman [ba-a-ga-man]: [banjar] dirasuki makhluk halus yang jahat (biasanya objeknya adalah binatang buas, seperti macan, musang, babi hutan, atau bangsa kera)

²butah: wadah seperti tas terbuka yang terbuat dari anyaman rotan, biasanya digendong di pundak; lanjung

³Pheh!: Cih! (tiruan suara orang meludah dengan kedua bibir setengah terkatup)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Horor/Baur

Cerpen Horor/Baur 2

Cerpen Horor/Baur 2