Cerpen Horor/Baur 2
Sandah
Setelah menjalani masa pacaran selama empat bulan, akhirnya mantaplah hatiku meminang si dia. Singkat, kami pun segera melaksanakan resepsi pernikahan dan sekarang usia hubungan sah ini telah melewati masa satu tahun.
Aigis namanya. Dialah istriku tercinta, yang satu-satunya, yang tercantik, yang terbaik. Tidak ada wanita lain di hatiku selain dirinya seorang.
Tujuan seorang pria menikahi wanita idamannya jelas hanya demi membahagiakannya. Maka, begitu pun aku. Dengan tambahan bahwa memang dasarnya aku sudah cinta mati padanya.
Selama masa berumah tangga ini, aku merasa selalu dapat membahagiakan istriku. Namun, tidak dalam seminggu terakhir ini. Entah mengapa tak ada lagi sebaris senyum yang tergambar di wajahnya tatkala diri ini baru pulang kerja. Dan entah mengapa ia selalu saja sibuk sendiri dengan segala lamunannya yang tampaknya takkan ada ujungnya.
"Dik, kalau ada masalah, terbukalah padaku," pintaku di pagi hari ini, karena kulihat wajahnya makin redup, makin murung saja.
"Tidak ada masalah, Kak. Sungguh."
"Sungguh? Beberapa hari ini kau juga mulai kurang berselera makan. Minum juga sedikit. Selain itu lamunanmu juga makin panjang. Ada apa sebenarnya?"
"Aku baik-baik saja. Jangan khawatir."
"Bagaimana mungkin aku tidak khawatir, Dik. Apa selama aku pergi kerja kau malah mendapat teror dari penjahat?"
"Tidak ada, Kak. Demi Tuhan."
"Atau apakah Bu Ririn itu masih menagih utang kita padamu?"
"Bukankah kita sudah melunasinya dua bulan yang lalu? Ayolah, Kak. Tidak ada masalah di rumah ini. Tenang. Sudah sana berangkat. Nanti keburu telat."
Aku mengalah dan bersegera berangkat. Tidak mungkin rasanya memaksa seseorang untuk menceritakan masalah pribadinya meskipun orang itu adalah istri sendiri. Bersama kegamangan di hati, lantas kucoba menghidupkan motor matikku berkali-kali, namun tidak berhasil.
"Motornya mogok lagi, Dik!" teriakku kesal.
"Kalau begitu tunggu taksi hijau saja. Nanti kusuruh seorang montir datang kemari untuk memperbaiki motormu."
"Terima kasih. Nah, itu taksinya. Aku pergi dulu."
Taksi kota yang kupanggil segera menepi tatkala mendengar panggilanku. Aku tak lagi peduli akan sumpeknya penumpang di bak belakang taksi ini. Yang jelas sekarang aku benar-benar sedang dikejar waktu.
Selama di dalam taksi ini aku sungguh merasa layaknya manusia pada umumnya. Di sini aku bergabung dengan tiga orang ibu-ibu berbusana muslimah yang tak putus-putusnya membicarakan sebuah alur cerita sinetron yang mereka tonton semalam. Kemudian ada juga dua orang pemuda yang memakai atasan yang seragam berupa kemeja lengan panjang berwarna cokelat tua, sementara di dada kiri mereka tertera sebuah lambang cantik bertuliskan STEI. Lalu, terakhir terdapat pula sepasang keluarga, yakni ayah dan anak perempuannya yang kelihatannya baru menginjak masa remaja. Anak perempuan itulah yang paling membuatku risih.
Bagaimana tidak? Semenjak aku naik dan duduk di bangku taksi ini tak henti-hentinya anak itu memerhatikanku, menatapku dalam diam, tanpa senyum, tanpa sapa, cuma melotot saja sambil memasang muka dingin padaku.
"Ada apa, Dik?" aku terpaksa memberanikan diri bertanya kepada anak itu. Dia menggeleng. "Apa ada sesuatu di wajahku?" Dia menggeleng lagi. "Atau apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Sayangnya, sekali lagi dia menggeleng.
"Maaf. Kenapa memangnya, Pak?" tanya ayahnya coba menengahi kami dengan sopan.
"Tidak. Hanya saja putri Anda terus-terusan menatap saya sejak tadi."
"Kanun, jangan tatap orang sembarangan begitu, Nak. Tidak baik."
Kali ini anak itu tersenyum padaku, namun dengan senyum kecut, sehingga rautnya yang putih seputih kaca itu sempat membuatku gentar.
"Saya iri," katanya, sekaligus membuka suara. "Bapak beruntung," imbuhnya.
Aku terheran-heran. Sudah jelas. "Maksudmu?"
"Sejauh ini Bapak punya kehidupan yang cukup sukses. Bapak juga memiliki istri yang cantik. Dan baik."
Aku tertawa. "Kurasa begitu."
"Aigis," ujarnya sambil menatap ke langit-langit taksi. Aku tersentak! Gaya bicaranya benar-benar layaknya seorang pelajar yang sedang mengingat-ingat sebuah rumus fisika yang tidak terlalu sulit. "Kalau tidak salah, Aigis adalah perisai yang dimiliki oleh Dewi Athena. Itu mitologi Yunani."
"Aigis adalah nama istriku. Bagaimana kaubisa tahu?"
Anak itu tersenyum. Meski kulitnya amat pucat dan bermata nanar, namun aku tak mau membantah kenyataan ini bahwa aku sangat menyukai senyum anak itu. Lesung pipitnya juga sangat elok.
"Hanya saja kalian belum dikaruniai anak," katanya. Nada ucapannya seolah ingin mengatakan bahwa ia sengaja menghindari pertanyaanku barusan. Sementara emosi ayahnya kini telah mereda dan tampaknya pria itu mulai ingin ikut menyimak perbincangan kami.
"Kami baru menikah."
"Satu tahun."
"Satu tahun." Sungguh, aku terpukau!
Kini dalam sekejap aku dapat melihat ke arah pupil anak itu. Jelas dalam pengamatanku kalau anak itu tidak sedang menatapku, melainkan sedikit memeleset ke kuping kiriku. Dia lalu berpaling, melempar pandang ke ruang kemudi yang sedang dikendalikan sang sopir. Kali ini wajahnya menjadi sangat kesal.
"Semua orang pasti mendambakan kehidupan seperti yang Bapak miliki sekarang," katanya lalu seraya kembali memalingkan muka tertuju fokus padaku. "Apakah Bapak rela menyudahinya?"
Tunggu dulu! "Maaf, Dik?"
"Andai ada seseorang mencoba memaksanya?"
"Aku tidak mengerti apa yang kauucapkan."
"Sebuah tameng yang terbuat dari besi dan baja tak melulu mampu menahan segala serangan yang digencarkan lawan. Apalagi bila sang lawan adalah seseorang yang lebih lihai dan berpengalaman. Ayah, kita sampai," katanya tanpa memedulikan pertanyaanku sama sekali. "Pir, tepi, Pir! Tepi!" Taksi pun sigap berhenti. "Selamat tinggal, Pak. Selamat jalan. Semoga keselamatan selalu menyertai Bapak. Ayo, Yah, kita sudah terlambat empat menit dari waktu kesepakatan."
Taksi kembali berjalan. Jujur saja, semua yang dikatakan anak perempuan barusan sangat membekas di pikiranku. Aku merasa bahwa anak itu bukan anak sembarangan. Dia, kelihatannya tahu betul akan kehidupanku, hanya kenapa dia terkesan begitu congkak? Tidak. Mungkin anak itu hanya asal tebak. Tetapi, kenapa semua tebakannya selalu berakhir tepat? Dan kenapa dia selalu menghindari pertanyaanku? Astaga, sekarang waktu masuk kerjaku sudah mepet!
Aku adalah seorang sales pulsa untuk semua operator jaringan. Ibaratnya calo. Aku membeli pulsa dari berbagai operator di kantornya masing-masing dengan harga pas, namun kujual kembali ke kounter-kounter penjualan pulsa dengan harga sedikit lebih tinggi agar mereka juga dapat menjualnya lagi ke langganan mereka dengan harga yang masih manusiawi. Intinya, agar ular tidak kenyang, kodok tidak mati. Begitulah kurang lebihnya.
Aku sudah menggeluti pekerjaan ini sejak empat tahun lalu, yang kemudian dengan uang hasil jualan pulsa ini pulalah aku dapat menikahi istriku, Aigis yang merupakan seorang anak keturunan campuran antara Mandar dan Banjar. Sungguh, baik selama kami masih berpacaran maupun setelah menjalin bahtera rumah tangga, tidak satu kali pun aku pernah mendapati perubahan akan sikap Aigis padaku. Aku berani katakan bahwa selama ini caranya bertutur kata dan membuat suatu tindakan selalu saja dibarengi dengan sikap penuh kehati-hatian, keramahan, serta kasih sayang. Itulah sebab aku sangat menyayangi dan menghargainya.
Namun, perubahan perilakunya saat ini sangat berseberangan dari perilaku yang merupakan pembawaan aslinya. Jelas sekali bahwa sekarang ini pikirannya sedang diguncang oleh sesuatu yang mahaberat sehingga untuk membicarakan masalahnya padaku pun bahkan tak mampu ia lakukan.
Aku sudah sepenuhnya melupakan momen percakapanku tadi pagi bersama anak perempuan yang aneh itu. Aku tidak paham dan dia tidak mau menjelaskan apa yang telah kutanyakan. Meski tebakannya selalu benar, namun tak alasan bagiku untuk melebih-lebihkannya.
Hari ini penjualanku cukup laris yang membuatku bisa pulang lebih awal. Sore, sebelum azan Asar berkumandang aku sudah sampai di rumah.
"Oh! Siapa gerangan yang sudah kembali ini!" sambut istriku dengan hangat. "Tumben pulang cepat, Kak?"
"Ya. Jualanku laku sukses, Dik."
"Ah, aku senang mendengarnya. Masuk, Sayang."
Terus terang aku senang karena dia senang. Dan, aku juga agak terkejut akan perubahan perilaku istriku. Entah mengapa sikapnya sore ini terkesan lebih ramah, persis saat kami baru menikah dahulu. Bukan. Perubahan sikapnya ini pasti bukan karena cerita kesuksesanku hari ini. Apa jangan-jangan itu artinya ia telah berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri sebelum aku tiba di sini?
Untuk sementara aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Aku lebih memusatkan perhatianku kepada seorang pria tua yang pecak, yang buta mata sebelah kanannya. Sejak kedatanganku tadi, pria itu terus-menerus duduk di teras rumahku sembari menatap jauh ke halaman samping dengan raut yang lelah. Kulihat sesekali tangannya meraih cangkir teh di sisinya, mengangkatnya dengan lamban ke arah mulutnya, meminumnya seteguk, lalu meletakkan cangkir itu kembali ke tempatnya semula.
"Siapa orang tua itu, Dik?" tanyaku penasaran.
"Orang asing," jawab istriku. "Beberapa jam yang lalu ada seseorang yang mengetuk pintu depan rumah kita. Aku pun bergegas membukakannya yang ternyata orang itu adalah beliau."
"'Maaf, bila kedatangan saya mengganggu Anda, Nyonya,' katanya. "Barusan ketika berlewat di depan rumah Anda tiba-tiba saya melihat motor ini. Ini adalah jenis motor yang saya suka, jadi saya berpikir bahwa saya harus memilikinya untuk melengkapi koleksi saya.'"
"'Oh, jadi Bapak mau membeli motor ini?' tanyaku."
"'Begitulah. Itu pun kalau Anda berkenan menjualnya kepada saya.'"
"'Tetapi, itu motor jadul yang sudah bobrok, Pak. Sekarang saja motor itu lagi *ngambek* tak mau diajak jalan alias mogok.'"
"'Ah, motor mogok itu lantaran kurang dirawat. Saya bisa mengatasinya.'"
"'Kalau saya sendiri memang sudah lama ingin menjualnya, tetapi motor itu milik suami saya, Pak.'"
"'Begitukah? Lalu, di mana suami Anda sekarang?'"
"'Dia sedang pergi kerja. Kalau Bapak memang menginginkan motor itu, Bapak bisa kembali ke sini besok. Nanti malam saya akan usahakan membujuk suami saya agar bersedia menjualnya kepada Bapak.'"
"'Sayangnya besok hingga seminggu ke depan saya tak mungkin bisa kembali kemari, Nyonya. Sebab, saya sudah utang janji kerja pada seorang teman, dan mulai besok saya sudah harus berada di tempat teman saya tersebut. Bagaimana kalau saya menunggu suami Nyonya saja di sini? Boleh, Nyonya?'"
"'Boleh saja. Hanya takutnya Bapak kelamaan menunggunya. Biasanya dia pulang ketika jelang senja.'"
"'Tidak masalah, Nyonya. Baiklah, sambil menunggu, saya tumpang duduk di teras ini saja agar tidak merisihkan Anda.'"
"Jadi, beliau sudah menunggu sejak tadi?" tanyaku pula.
"Ya, tetapi belum lama. Paling baru sepuluh menitan. Kakak temuilah beliau. Aku akan buatkan juga minuman untukmu."
Sesuai saran Aigis, aku pun segera menemui pria tua itu.
"Sore, Pak," sapaku padanya.
"Sore juga, Tuan," jawab pria itu seraya membalikkan badannya.
Aku agak terkejut ketika mengenali wajah lelaki itu. Ya, wajah itu sudah familiar di mata dan ingatanku. Pria tua ini adalah salah satu penumpang yang duduk di kursi samping sopir taksi yang tadi pagi kunaiki! Ya, beliaulah orangnya!
"Baiklah," ujarku setelah berhasil mengingat rupa lawan bicaraku ini. "Tadi saya sudah mendengar cerita dari istri saya. Katanya Bapak mau membeli motor ini. Benar begitu?"
"Benar, Tuan!"
Aku tersenyum lantaran kelugasan lidah pria itu. Istriku kini juga telah bergabung sambil membawakan minuman untukku.
"Baik. Saya tidak perlu menutupi cacat sepeda motor ini. Ya, dia bobrok karena dulunya saya membeli motor ini juga dalam keadaan sudah bekas pakai. Harganya juga amat miring. Kalau Bapak berkenan, saya akan menjualnya kepada Bapak dengan harga tiga juta, plus surat-suratnya, dengan garis miring dalam keadaan seperti ini. Mogok."
"Nyonya, Anda beruntung memiliki suami seperti Tuan ini. Dia adalah seorang penjual yang jujur. Baik, saya menerimanya. Sebentar," ujarnya seraya merogoh satu-satunya saku di bajunya.
Di sinilah kami berdua benar-benar dibuat takjub, heran, sekaligus tak habis pikir. Cara pria itu merogoh sakunya memang tampak biasa, tetapi yang mencengangkan itu adalah cara dia memproduksi uang dari dalam sana. Kantong baju yang menempel di bagian bawah bajunya itu tipis, seolah tidak ada barang apa pun yang sebelumnya pernah menempatinya. Namun, setiap kali tangan pria itu masuk ke dalamnya, sekonyong-konyong selembar demi selembar uang seratus ribuan pasti berhasil dikeluarkannya.
"Sudah cukup, Tuan?"
"Belum. Baru terhitung satu juta empat ratus."
"Oh, tenang. Masih banyak di sini."
Kami pun tertawa mendengarnya.
"Tunggu dulu, Pak!" sergah istriku tanpa mampu menahan tawa. "Ini uang asli atau uang sulap?"
"Itu uang asli, Nyonya," jawab pria itu sambil terus mengeluarkan uang dari sakunya. "Coba amati digit-digit di lembarannya. Coba terawang gambarnya."
"Oh, ini asli, Kak!"
"Lalu, baju jenis apa yang Bapak pakai ini sampai ada kantong ajaibnya."
"Baju Doraemon, Tuan."
Sekali lagi kami tertawa, namun kali ini gigiku sampai terasa kering. Hingga akhirnya pria itu berhenti mengeluarmasukkan tangannya ke saku, hingga saat itu pula aku kembali menghitung uang yang telah dibayarkan.
"Pas!" seruku. "Terima kasih telah membeli motor ini. Tetapi, bagaimana cara Bapak membawanya? Apa perlu saya panggilkan tetangga sebelah untuk membawakan motor ini ke rumah Bapak. Tetangga saya di depan sana kebetulan punya Carry."
"Tidak perlu, Tuan. Ini mogok, ya?" ujarnya seraya berjalan tenang ke arah motornya. Lantas, meski tanpa ia menyentuh tombol atau menginjak tuas starter pun, motor itu dengan ajaibnya kontan menyala dengan raungan mesin yang sangat sehat! "Lihat? Saya bisa mengatasinya, bukan?"
"Mustahil!" seruku tak percaya. "Bagaimana Bapak melakukannya?"
"Itu tidak penting, Tuan," jawab orang tua itu, lalu tertawa kecil. "Baiklah. Motornya saya bawa. Semoga prosesi jual beli kita tadi diberkahi."
Singkat, ketika pria tua asing itu sudah pergi, di saat itulah aku langsung menyerat lengan istriku masuk ke rumah.
"Sebenarnya siapa pria tadi, Dik?" tanyaku gusar.
"Aku juga tidak tahu, Kak. Bukankah tadi aku sudah ceritakan semuanya padamu?"
"Aneh sekali! Mengapa hari ini aku menemui banyak hal yang teramat ganjil?"
"Maksudnya?"
"Apa tadi kau tidak lihat bagaimana pria itu mengeluarkan uang-uang ini dari sakunya yang kosong?"
"Mungkin ada lipatan jahitan di balik kantong bajunya. Itu tidak aneh. Orang tua zaman dulu punya cara unik untuk mengantisipasi kasus penjambretan."
"Baik. Anggap saja aku menerima penjelasan itu. Tetapi, bagaimana dengan cara lelaki tua itu menghidupkan motorku yang sudah mogok? Kulihat, tadi dia hanya menatap motor itu sebentar, lalu motornya mendadak bisa nyala."
"Aduh, Kak! Aku pusing! Aku juga tidak tahu bagaimana trik pria itu menghidupkan mesin motormu yang sudah mogok dengan hanya sekali tatap."
"Apa mungkin dia seorang penyihir?"
"Mana kutahu, Kak? Kakak kejar saja dia sekarang. Tanya langsung ke orangnya. Bapak ini penyihirkah? Begitu! Ah! Sudah dapat duit juga, masih saja banyak tanya!"
"Hei, aku cuma tanya, Dik! Ya ampun!"
"Tanya boleh, Kak! Cuman jangan bikin orang stres!"
Malam telah tiba. Istriku juga sudah tidak marah-marah lagi. Seusai makan malam, kami pun duduk bersisian di tepi jendela seperti biasa sambil mengamati pemandangan bulan yang hampir purnama.
Sekarang sudah lewat jam delapan, namun tidak terjadi sesuatu pun di rumah ini, baik berupa gangguan kecil maupun gangguan yang dapat mendatangkan marabahaya bagiku atau pun istriku. Situasi saat ini benar-benar damai. Kami menyukainya.
"Nasibmu lebih beruntung ketimbang bulan itu," kataku.
"Kenapa memangnya, Kak?"
"Lihatlah ia nun di atas sana. Meski bentuknya sudah hampir penuh total, namun tiada satu bintang pun yang mau menjumpainya. Tetapi kau di sini, sudah ada aku yang akan selalu menemanimu."
"Romantis!" sahut Aigis sambil tersenyum manja. "Namun, Kak, sebentar lagi aku juga akan senasib dengannya."
"Apa maksud ... "
Belum lagi aku berhasil menyelesaikan ucapan, kontan saja aku terbatuk sekaligus ambruk di lantai. Pandanganku pun langsung terasa nanar. Aku merasa seperti sedang mengendarai sebuah sepeda motor di dalam tong setan. Batukku juga tak kunjung berhenti sampai kerongkonganku kering, dan hingga akhirnya mulutku memuntahkan darah. Sementara, dapat kulihat sebuah senyum keji yang tengah terkembang di wajah Aigis. Semuanya benar-benar berlangsung sangat cepat!
"A-apa yang telah ... apa yang ... ah!"
"Sebagai penerus keabadian, aku tak lagi butuh suami macam dirimu. Perkenalkan, Kak, inilah calon suamiku sekarang."
Dengan napas tersengal-sengal dan antara sadar atau tidak, aku mendengar sebuah seretan daun pintu, yang kemudian disusul dengan munculnya sebuah bayangan tubuh seseorang bertubuh sangat tinggi dan kurus. Yang membuatku amat terkejut adalah ketika aku mengenali rupa orang itu, yaitu si pria tua yang tadi sore telah membeli motorku. Namun, penampilannya wajahnya sudah mengalami banyak perubahan. Ia tampak lebih muda dari sebelumnya dan mata kanannya yang pecak itu kini telah terbuka dan dapat melihat ke arahku dengan tatapan penuh belasungkawa.
"Pak Tua, kau ... " aku berusaha bicara, namun batuk yang kuderita terasa semakin menghunjam kerongkonganku.
"Saya sangat benci ketika anak perempuan itu berusaha mengingatkanmu, Tuan," katanya sembari berjalan mengelilingi tubuhku yang sudah sekarat.
Istriku lantas mendengus. "Mengapa tidak kau habisi saja anak itu, Sayang?"
Sayang? Sungguh, aku tidak mengerti maksud semua ini!
"Mana mungkin? Keabadianku bukan ditakdirkan untuk membunuh anak-anak Adam, hanya menggodanya, menyeretnya ke neraka bersama kita."
"Lemah!"
"Ya. Ejek saja aku sesukamu. Heh! Sekarang, tugasku telah selesai. Tinggal kau. Bereskan dia secepatnya lalu pergilah dari kota ini sebelum pagi! Selamat tinggal, Tuan. Terima kasih telah ikut berpartisipasi dalam keabadian ini. Kau benar-benar seorang yang mulia, tetapi bodoh. Selamat tinggal! Hahahaha!"
Bersama tawa penuh kemenangan, akhirnya sosok pria itu menghilang, meninggalkan sebuah dinding kabut hitam yang amat tipis.
"Inilah waktunya," kata istriku seusai ditinggal pergi oleh pria tua tadi.
"Apa lagi ... apa yang kaumau dariku?"
"Tidak ada," jawabnya santai seraya menarik sebilah kapak dari bawah kolong meja. "Hanya menyelesaikan sesuatu yang telah kumulai. Ha!"
"Ah!"
Selesai

Komentar
Posting Komentar