Cerpen Horor/Baur 2

 


Kekal

  Tahun 2001

  "Kurasa jalannya ke sini," ujar salah seorang pria kepada rekannya.

  "Kau yakin? Perhatikan mapnya, Bung!"

  Mereka hanya berdua. Mereka berjalan beriringan melewati jalanan berbatu cadas. Saat ini mereka sedang bertualang, di dalam sebuah gua berlorong sempit yang celahnya hanya dapat memuat benda seukuran tubuh manusia. Keduanya sudah bertualang di sepanjang lorong gua ini sejak kemarin, namun belum jua melihat ujung perjalanan mereka.

  Orang yang berjalan di depan merupakan seorang pria bertubuh sedang, berambut ikal, dan berkumis lebat. Sedangkan, pria yang satunya bertubuh lebih rendah rekan di depannya, berkulit gelap, dan ia mempunyai sepasang cambang yang tercukur rapi. Sebuah senter mini tampak dijepit di baju bagian dada kanan mereka masing-masing.

  "Arif."

  "Ya, jawab pria yang tertinggal di belakang.

  "Katanya di gua ini banyak binatang buasnya."

  "Oh, ya? Lantas binatang buas mana yang mau masuk ke lubang gua yang sangat perawan ini?"

  "Ular, bisa."

  "Anakonda?"

  "Ya. Buaya juga bisa."

  "Kau buayanya."

  "Terima kasih."

  "Sama-sama."

  "Aku masih belum tahu tentang harta yang kita bicarakan kemarin. Apa benar ada di sini?"

  "Aku juga belum tahu. Aku hanya mendengar isu dari teman-teman yang lain. Mereka bilang harta itu memang ada di sini. Hih! Semut-semut di sini benar-benar tidak pernah sekolah rupanya!"

  "Rasakan saja. Jangan balas bunuh. Nanti kena tulah."

  "Aku tahu."

  "Omong-omong, kemarin kau juga bilang, kalau harta itu punya teka-teki yang aneh."

  "Ya, kudengar kabar kalau harta itu mengandung teka-teki mengenai hari. Aku juga belum mengerti banyak soal itu. Hanya yang penting, kita jalan saja dulu."

  Semakin jauh mereka berjalan, semakin dalam mereka menempuh, lubang yang mereka lewati juga semakin sempit. Hingga akhirnya mereka terpaksa jua bergerak sambil merangkak-rangkak atau bahkan sampai bertengkurap agar dapat melewati celah-celah itu.

  "Baiklah, Bento," ujar Arif kepada temannya. "Mulai dari sini kita sudah tidak bisa bergerak maju sambil mengendong ransel. Celah di depan sana hanya muat untuk tubuh kita."

  "Sebentar. Jarak celah paling sempit itu sekitar sepuluh meter. Lalu?"

  "Dan kelihatannya, medan setelahnya adalah jurang. Kau punya ide? Bagaimana bagusnya menurutmu?"

  Atas saran sang rekan, akhirnya Arif terpaksa memasuki celah itu seorang diri lebih dulu, sementara kedua kakinya diikat dengan tali tambang secara terpisah. Rekan di belakangnya tetap bertahan di tempat sebelumnya sambil memegangi kedua ujung temali yang mengikat kakinya.

  "Bagaimana, Rif?"

  "Ini benar-benar jurang, Kawan. Tarik aku!"

  Temannya dengan segera menarik temali itu dengan sekuat tenaga, sedangkan orang yang ditarik tampak merangkak mundur secara perlahan.

  "Itu jurang yang sangat luas dan dalam, Ben!" pekik Arif bersama kekesalannya.

  "Tenang, Kawan. Pasti ada cara melewatinya."

  "Kau pikir begitu? Tidak, Ben! Jurangnya sangat gelap! Aku bahkan tidak dapat melihat dasarnya!"

  "Bagaimana kalau kita turun dengan merayapi dinding jurangnya?"

  "Itu mustahil! Bibir jurang di sana benar-benar seperti cungur, ia menjorok jauh ke depan, sementara dinding jurangnya menjorok jauh ke belakang. Bagian atasnya juga demikian!"

  "Tunggu sebentar," sambut Bento pula. "Oke. Kita tidak mungkin kembali sebelum menemukan apa yang kita cari. Tidak ada pilihan, kita harus merayap di dindingnya agar bisa turun dan mencapai dasarnya. Tetapi sebelum itu, kita mesti turunkan ransel-ransel kita terlebih dahulu. Bagaimana?"

  "Oke, oke. Kita harus bawa harta dari sini untuk dibawa pulang."

  "Benar."

  "Baiklah. Aku punya dua tali tambang, yang satu sepanjang lima belas meter, yang satu lagi panjangnya sepuluh meter."

  "Nah, tali punyaku ini panjangnya dua puluh lima. Kita akan turunkan barang-barang kita sambil menebak seberapa dalam jurang yang sedang menanti kita. Bersiap!"

  Sekarang ketiga temali telah disambung dengan simpul yang kuat, sementara kedua ransel telah diikat di salah satu ujung tambang. Kedua pria itu kini mulai bersama-sama melempar ransel itu menuju bibir jurang, hingga ketika ransel itu telah terjuntai dan mengambang, barulah mereka menurunkannya secara perlahan-lahan.

  "Sudah terasa?" tanya Bento.

  "Belum. Masih turun."

  "Bagus. Ulur terus."

  "Ini adalah kali pertama aku masuk gua yang ada jurang di dalamnya."

  "Gua tanpa jurang itu tidak ada tantangannya, Kawan. Aku sudah sering menemuinya. Sekitar empat kali, kalau tidak salah."

  "Op! Coba kautarik, Bung!" pekik Arif tiba-tiba sambil melonjak kegirangan.

  "Ah! Bagus sekali, Rif! Itulah dasar jurangnya! Sempurna! Dengan begini kita bisa tahu jarak kedalamannya."

  "Sekitar tiga puluh lima meter!"

  "Benar!"

  "Sip! Tetapi, bagaimana kita bisa turun?"

  "Sudah kubilang, dengan merayap."

  "Caranya?"

  Kini giliran keduanya yang bertengkurapan, bergerak maju di celah sempit gua agar bisa mencapai bibir jurang di depan sana. Bento pun kembali memimpin perjalanan.

  "Gila!" serunya sambil berdecak kagum. "Luas jurang ini hampir tiga kali luasnya stadion sepak bola di Surabaya!"

  "Bahkan terhitung dengan bangku-bangku penontonnya?"

  "Ya, tentu saja! Ayo, Rif! Ikuti caraku menuruni jurang ini! Semoga di bawah sana kita bisa menemukan harta yang kita cari!"

  Bento telah bergerak lebih dulu. Kini dia mulai berpegangan pada tali yang tadinya mereka gunakan untuk menurunkan barang bawaan mereka, sementara Arif masih harus bertahan di bibir jurang.

  Untuk sementara, Bento masih saja bergelantungan di seutas tali itu. Lalu, ketika ia sudah melewati bagian bibir jurang yang menjorok di depannya, barulah ia mengayun-ayunkan tubuhnya, sehingga pria itu tampak melayang maju mundur dan terombang-ambing di antara bibir dan dasar jurang.

  Namun, usaha pria itu ternyata tidaklah sia-sia. Pada satu kesempatan, akhirnya ia berhasil mendaratkan satu telapak tangannya ke bongkahan batu di dinding jurang. Setelah hatinya merasa mantap, barulah pegangannya pada temali ia lepaskan, membiarkan bagian depan tubuhnya menempel di dinding jurang gua.

  "Keren, Bung!" puji Arif pula begitu melihat keberhasilan temannnya. Suaranya pun lantas memggaung-gaung keras di dalam jurang ini.

  "Sekarang giliranmu!"

  "Siap!"

  Setelah menarik napas dalam-dalam, Arif pun bersegera turun menyusul temannya dengan cara yang telah ia lihat dari Bento sebelumnya. Selama dia bergelantungan di temali itu, ia bisa melihat temannya sudah bergerak semakin jauh ke dasar jurang. Hingga akhirnya kegelapan jurang menelan habis sosok temannya itu.

  Rupa-rupanya, Arif lebih memilih turun dengan tali. Ia tidak punya keberanian untuk bergelantungan macam temannya tadi. Dia terus berpegangan erat pada tali dan dengan hati-hati menurunkan tubuhnya.

  "Oi, Rif! Kau itu laki atau bini?" suara Bento terdengar mengejek.

  "Diam kau! Yang jelas aku bukan Spiderman macam kau!"

  "Hei, tunggu. Apa kau dengar itu?"

  "Apa!"

  "Pasang telingamu baik-baik!"

  Untuk sejenak Arif menuruti saran temannya. Ia diam hingga beberapa detik, mencoba menangkap suara yang muncul di sekitarnya. Hingga saat itu tiba, matanya pun kontan terbelalak!

  "Itu suara gerombolan kelelawar!" Bento langsung berteriak. "Itu mereka! Di atasmu! Astaga! Mereka menuju ke arahmu! Sentermu, Rif! Matikan sentermu!"

  Hanya sayang bagi Arif, belum sempat ia mematikan senter di dadanya, kawanan kelelawar gua itu sudah lebih dulu menyerangnya secara bersamaan sampai suatu ketika pegangannya di temali tidak lagi stabil, sampai di situ pula ia pegangannya terlepas. Tubuh pria itu pun langsung terjun bebas ke dasar jurang yang diiringi pula oleh teriakannya yang amat memilukan.

  Sang rekan yang masih menempel di dinding jurang tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong temannya yang sudah jatuh. Di posisinya, ia dapat mendengar suara berdebuk dari suatu benda berat yang jatuh dari ketinggian, yang disusul lagi oleh suara tulang-tulang yang sempat bergemeriak di bawah sana. Ia hanya dapat menatap nanar pemandangan itu dan hanya dapat mendengar suara-suara itu dengan wajah sedih dan penuh penyesalan.

  "Hadas! Paniki sialan!" umpatnya dengan napas terengah-engah. "Rif! Rif!" panggilnya berulang kali. Namun tak sepatah jawaban pun dapat didengarnya dari temannya.

  Dia pun kembali bergerak turun seorang diri di dinding jurang itu. Ia berusaha secepat mungkin menuruninya hingga tiba saatnya ia berhasil menginjak bebatuan di dasar jurang itu. Dengan cahaya senter seadanya, ia lantas berusaha mencari tubuh temannya itu, namun anehnya ia tidak jua dapat menemukan jasad Arif di tempat kejatuhan tadi. Yang ia temukan hanyalah dua buah ransel yang masih terikat dan percikan-percikan darah di permukaan bebatuan cadas. Ia tak habis pikir!

  Dia sudah melakukan perhitungan yang akurat kalau tubuh temannya itu pasti jatuhnya tidaklah terlalu jauh dari temali yang menjulur dan ransel yang terikat. Tetapi nyatanya, ia tidak bisa menemukan tubuh temannya itu meski ia telah mencarinya berkali-kali. Tubuh Arif benar-benar telah menghilang!

  Dia sudah lelah dalam pencariannya demi menemukan tubuh rekannya yang malang. Dengan berat hati, dilepasnyalah ransel miliknya, sementara ransel milik temannya ia biarkan tetap terikat di temali itu demi menghormati kepergian temannya. Kini, dia tinggal seorang diri, berjalan sepi di sepanjang dasar jurang itu, di medan berbatu tajam, yang kadang mengharusnya mendaki tebing-tebing, dan kadang ia harus menuruninya. Tentu saja sisa perjalanannya ini disertai pula oleh kecamuk dalam pikirannya.

  Ia terus saja berjalan sendirian, hingga sampailah ia di depan sebuah kolam air yang amat cantik. Kolam itu berdindingkan bebatuan gunung dan beberapa buah stalagmit yang meruncing tegak di dalamnya. Jumlah airnya pun amat melimpah hingga tumpah ke setiap bibirnya. Warna airnya juga begitu keemasan, hingga ketika cahaya senternya terarah tepat ke kolam itu maka cahaya itu lantas terpantul ke segala arah dengan bias yang teramat menyilaukan mata. Jelas sekali bahwa sumber mata air dari kolam itu adalah dari guyuran sungai kecil yang terletak tepat di atasnya. Beberapa ekor ikan mas tampak berenang-renang ria di dalam kolam itu, sehingga pemandangan itu menjadi sangat memanjakan mata.

  Bento pun buru-buru menghampiri kolam itu dengan harapan dapat meminta airnya untuk diminum dan menambah bekal perjalanannya. Ia tidak tertarik untuk membunuh ikan-ikan mas di dalam kolam itu karena hal itu merupakan pantangan besar bagi seorang petualang gua. Untuk sejenak ia dapat melupakan kesedihannya atas kehilangan rekannya, Arif.

  Ia lalu melirik waktu di arlojinya. Jam sembilan. Hawa dingin telah menusuk kulit dan persendiannya. Itu artinya waktu sekarang adalah jam sembilan malam. Ia pun bergegas mendirikan tendanya tak jauh dari kolam tadi. Setelah menyantap beberapa potong makanan, ia lalu bersegera masuk ke tendanya dan tidur. Namun ...

  "Apa kau tak mau pulang, Ben?"

  Dalam sekejap, dirinya yang baru saja hendak memejamkan mata untuk melepas penat langsung dibuat terkesiap begitu kuping mendengar seseorang menegurnya. Dia dengan cepat mampu mengenali pemilik suara itu.

  "Arif!"

  "Ya, ini aku, Kawan," jawab suara itu. "Ayo, keluarlah. Kita pulang ke rumah sekarang."

  Dengan segenap perasaan yang tak keruan, Bento bergegas menemui rekannya itu yang ternyata sudah menunggu di luar tendanya dalam keadaan sangat sehat dan bugar. Sebuah ransel yang tadi ditinggalkannya juga sudah menempel di punggung temannya itu.

  "Arif, kau masih hidup!"

  "Ya, aku masih hidup. Dan kau tega meninggalkanku di sana."

  "Kau habis jatuh dari ketinggian, Kawan, dan kukira kau sudah mati! Tambah, kulihat ada banyak bercak darah di sekitar tempatmu terjatuh! Maafkan aku. Aku juga sudah mencarimu ke mana-mana, tetapi nihil. Kupikir ada binatang buas yang menyeret mayatmu ke sarangnya untuk disantap. Makanya aku terpaksa meninggalkanmu."

  "Ya, aku juga masih ingat momen saat peganganku terlepas gara-gara serangan kelelawar-kelelawar itu. Aku memang mendarat sangat keras ke bebatuan di bawahnya sehingga membuat kepalaku bocor dan berdarah. Aku sempat mengalami pening selama beberapa detik hingga akhirnya aku sadar bahwa sesuatu yang lunak telah masuk ke mulutku. Dan ketika aku mencoba memuntahkannya, secara aneh benda itu sudah lebih dulu meluncur ke kerongkonganku. Dan tak selang waktu lama, aku sudah dapat berdiri lagi dan luka-luka patah tulang dan bocor di kepalaku langsung menyembuh. Coba lihat di atas jidatku! Ada bekas darah di sini dan harusnya ada luka di sini!"

  "Tetapi kepalamu bersih!"

  "Itu dia anehnya! Lukanya sudah sembuh total! Ajaib sekali, bukan?"

  Bento tidak lagi bersuara. Ia kini ragu, apakah temannya yang ada di depannya saat ini benar adalah temannya yang sudah menemani perjalanannya ataukah dia adalah Arif dari sesosok hantu gentayangan yang mencoba menguji iman dan keberaniannya?

  "Seperti kataku tadi, Ben, kita akan pulang ke rumah malam ini juga," temannya lagi-lagi bersuara membuat kesadaran Bento kembali merasuk ke dalam segenap jiwanya.

  "Oh, ya? Sayangnya kita belum menemukan sesuatu yang kita cari."

  "Ah, padahal kau sudah menemukannya sejak tadi."

  "Maksudmu?"

  "Di sana! Dua ikan mas di kolam itu adalah harta yang kita cari, Kawan. Ayo, sini!"

  Belum lagi Bento habis dari keterkejutannya, temannya itu sekonyong-konyong sudah menarik tangannya menuju kolam keemasan tadi.

  "Coba perhatikan baik-baik olehmu, Ben. Di dalam sana ada tujuh ekor ikan mas. Tujuh adalah jumlah hari dalam seminggu. Tetapi, di antara ketujuh ikan itu hanya ada dua yang tampak lebih berkilau. Dua di sini artinya dua hari yang disunatkan berpuasa dalam satu minggu. Senin, Kamis. Jadi, kedua ekor ikan mas itulah harta buruan kita di gua ini, Kawan. Coba perhatikan sisik kedua ikan itu."

  "Astaga! Itu emas murni!"

  "Benar! Ayo, kita tangkap dan kuliti mereka sekarang!"

  "Tunggu, Rif!" Bento dengan cepat mencengkeram lengan temannya yang sudah memegang sebilah belati. "Kita boleh gila harta, tetapi ingat, kita tidak boleh membunuh hewan apa pun selama di dalam gua. Apa pun alasannya."

  "Bento, sekarang situasinya sudah beda, Kawan."

  "Tolong, jangan kaulanggar pantangan itu."

  "Kau ingin pulang dengan tangan kosong?"

  "Demi keselamatan aku rela melepas harta incaran. Ayo, sebaiknya kita pulang, Rif."

  "Persetan dengan pantangan!" ucap Arif pula seraya menepis tangan temannya dari pergelangannya.

  Arif lalu menceburkan dirinya ke kolam itu dan sontak kegiatannya itu membuatnya kawanan ikan mas terkejut. Mereka lantas berlarian ke sana kemari dengan panik.

  Tetapi, gerak pria itu tiba-tiba terhenti karena seseorang telah mencengkeram kerah bajunya dari belakang.

  "Bento, kau bangsat! Hih!"

  Pria yang kesal itu dengan cepat menyabetkan pisaunya ke tangan yang mencengkeramnya, namun sabetannya meleset karena lawannya telah menghindarinya. Dia pun terpaksa kembali keluar dari kolam demi mengejar Bento yang sudah mundur menjauh dari kolam.

  "Jadi, inikah akhir pertemanan kita, Ben?"

  "Ya, aku takkan biarkan dirimu sampai membunuh ikan-ikan itu!"

  "Keras kepala! Hah!"

  Serangan belati secara membabi buta dengan cepat dilayangkan Arif ke arah temannya, namun berkali-kali ia menyerang, Bento selalu berhasil berkelit dan menghindarinya dengan baik. Lantas, ketika sebuah kesempatan datang, Bento mampu menangkap tangan lawannya yang memegang belati, merebut senjatanya, lalu menebaskan belati itu ke pergelangan tangan kiri tuannya sendiri sampai putus.

  Namun, Bento benar-benar dibuat tak percaya akan apa yang dilihatnya setelahnya. Bukannya berteriak kesakitan, temannya itu malah bergegas memungut tangannya yang telah terputus tadi lalu buru-buru menyambungkannya ke area yang terluka. Dan tak berselang tiga detik kemudian, lukanya telah mengering, sementara tangannya yang sudah tersambung sudah dapat ia kendalikan seperti sediakala. Pria itu lantas tersenyum keji.

  "Ya Tuhan!" Bento kontan menjerit histeris. "Rif, apa yang telah terjadi pada dirimu."

  Arif tidak menjawab. Sambil tertawa, pria itu lalu melarikan diri. Melihat hal itu, Bento lantas berinisiatif untuk segera meninggalkan jurang dan secepatnya mencari jalan keluar dari gua yang mencekam ini. Lalu, tanpa membuang waktu dan tanpa menghiraukan tendanya lagi, ia pun gegas berlari menuju kegelapan.

  Ia terus mempercepat langkahnya melewati bebatuan gunung nan cadas yang ukurannya bisa lima bahkan enam kali lebih besar dari dirinya, melewati rawa-rawa berlumut dan licin, dan sesekali ia harus mendaki anak-anak tangga yang tercipta dari longsoran gua.

  Rasa lelah dan penat telah tergantikan oleh rasa ketakutan serta keinginan untuk segera tiba di rumah dengan selamat. Setelah berjalan sangat jauh, akhirnya ia berhasil melihat cahaya bias rembulan yang menyeruak masuk di salah satu celah langit-langit gua. Perasaan lega jelas mulai terpampang di raut wajahnya yang letih dan berdebu.

  Namun sangat disayangkan, ternyata tidak ada lagi jalan yang menunggunya di depan sana. Buntu total. Dari sini ia mulai mencari-cari jalan keluar yang lain dengan teliti. Ia mencoba menggeser-geser tumpukan bebatuan dari dinding jurang. Ketika mendapati tumpukan itu hanya menutupi dinding yang masih kokoh, ia pun segera berpindah ke tumpukan batuan yang lain dan kembali melanjutkan aktivitasnya seperti sebelumnya.

  Hingga, setelah menemui beberapa kali kegagalan, akhirnya usahanya tidak membohonginya. Ia berhasil menemukan sebuah celah yang amat kecil di salah satu dinding jurang gua itu yang tampaknya merupakan tiketnya untuk bisa pulang ke rumah malam ini. Dinding itu memang masih masif, tetapi ia tidak kehabisan akal. Dengan alat seadanya berupa ganjalan batu-batu cadas seukuran bola kepalanya dan sebilah dahan kayu, ternyata ia mampu mendongkrak celah itu, membobolnya hingga celah itu semakin terbuka. Ia terus mengulanginya hingga beberapa kali sampai ia menyadari bahwa seseorang telah menikam pinggangnya dengan sebuah senjata tajam! Ia pun sempat terkejut hingga akhirnya tubuhnya menggeloso di lantai gua.

  "Rif!" katanya sambil memegangi area tubuhnya yang terluka.

  "Ikan-ikannya sudah kudapatkan," jawab temannya dengan bengis. "Karena kau sudah sekarat, maka harta buruan jadi milikku seorang. Aku tidak menyangka harus menghabisimu, Kawan. Rupanya itulah yang kumaksud dengan pulang ke rumah."

  "Kau sudah gila, Rif. Harta telah menyesatkanmu. Mudarat besar pasti akan menghancurkan hidupmu," Bento mengancam, sementara napasnya sudah tinggal satu demi satu.

  "Persetan dengan mudarat! Aku abadi! Kau lihat bagaimana aku menyambung kembali tanganku yang kaupotong? Aku abadi! Aku tak lagi bisa mati! Aku abadi!" Arif bicara sambil berteriak-teriak. Suaranya kontan menggema-gema di satu lubang jurang ini.

  "Jangan lupa, Kawan. Selama kau masih berupa manusia, keabadianmu hanyalah sebuah kutukan yang nantinya akan membuatmu menderita seumur hidupmu."

  Sampai di sini Bento sudah tidak mampu melanjutkan kata-katanya lagi. Perlahan setiap gerak jemarinya terhenti, hingga kelopak matanya mulai bergerak turun, di saat itulah jiwanya telah meninggalkan raganya.

  "Kau mungkin benar, Ben," jawab Arif meskipun yang disebut namanya telah tinggal nama. "Tetapi, aku menikmati ini! Huahahahaa!"

  Seraya terbahak-bahak, Arif segera keluar dari jurang gua itu lewat celah didobrak paksa oleh Bento sebelumnya. Ia pergi bersama harta buruannya, meninggalkan mayat temannya, dan tak peduli lagi akan pantangan yang telah ia langgar.

  Satu jam kemudian.

  Di sini, sesosok mayat Bento, mulai mengalami perubahan bentuk. Kulitnya telah mengerut. Darah di sekujur lukanya telah mengering. Saat ini, mayat nan malang itu mulai mengalami proses pembusukan.

  Proses itu masih berjalan. Aroma mayat itu ternyata tercium jua oleh seekor ular piton berukuran sedang. Dengan santainya, ular itu berjalan menghampiri mayat Bento. Sesampai di sana, ia tidak langsung melahap mayat itu, melainkan berjalan memutari jasad si mayat, seolah-olah ia sedang melaksanakan sebuah upacara kematian. Hingga tiba saatnya ia menyantap makan malamnya, sementara lidahnya yang bercabang dua itu menjulur-julur, di saat itulah ular itu langsung menggelepar-gelepar tak keruan, sampai pada akhirnya si ular mati dengan cara yang aneh.

  Kini giliran mayat Bento yang kembali mengalami perubahan. Perlahan-lahan, kulit jasadnya kembali mengencang, luka di pinggangnya mengering dan memulih dengan cepat, lalu disusul pula dengan adanya gerakan kecil di setiap jemarinya. Terakhir, ternyata kelopak matanya kembali terbuka!

Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Horor/Baur

Cerpen Horor/Baur 2