Cerpen Misteri/Baur


 

Ilusi

  Aku baru saja ditelepon oleh Ibu. Beliau kata, bersihkan kamar, kurangi tidur. Sudah dua puluh tujuh tahun hidup bersama, ternyata beliau masih saja belum mengerti hobiku hingga sekarang.

  Ibuku sedang dalam perjalanan dinas ke luar daerah. Beliau seorang wanita karier yang amat sibuk sampai lupa mati. Selama ini hanya tinggal beliau seorang yang berperan sebagai ibu sekaligus ayahku, sebab suaminya sudah lama jadi mendiang. Ah, lupakan itu!

  Hari ini adalah hari uji coba yang ke tiga puluh satu di laboratorium mini di kamarku. Aku baru saja membuat riset baru dengan mencampurkan dua buah larutan ke dalam tabung reaksi. Sekarang aku tinggal menunggu hasilnya. Jika warna larutan dalam tabung itu tetap memerah, berarti percobaanku gagal, tetapi jika memuai, itu artinya harga diri seorang wanita sejati. Untuk sementara dan seterusnya, biar kita sisihkan saja cerita keluarga di awal-awal tadi. Cerita semacam itu cukup ditayangkan di sinetron. Jangan di sini.

  Perlu diketahui bahwa salah satu campuran larutan itu berisikan ekstrak sel-sel amoeba yang telah kumatikan, kemudian setetes darahku, dan tiga tetes air putih. Sedangkan yang satunya berupa campuran tiga jenis senyawa yang kupilih secara independen dari Tabel Periodik. Aku berharap dengan percobaan ini, aku dapat menghasilkan sebuah larutan yang mampu membuatku tidur dalam jangka cukup lama.

  Sambil menunggu waktu, biar kuperkenalkan kepada kalian makhluk-makhluk hidup yang ada di sekitarku. Coba lihat ini! Di dalam boks akuarium ini ada Moeza dan Sisty. Mereka ini adalah pasangan ikan yang paling langka di dunia. Kubilang langka, karena mereka ini suka pasang muka jual mahal pada sesamanya. Moeza adalah yang jantan, Sisty yang betina. Kalau aku jadi Moeza, sudahlah! Sikat, Bung! Ini adalah waktunya berkawin dan beranak!

  Kemudian selain mereka masih ada satu lagi makhluk bernyawa lainnya. Dialah Riana, tetangga sebelah rumah kami. Aku melihat sosoknya dari celah daun jendela yang sedikit terbuka. Riana adalah gadis pesolek yang suka menghabiskan waktunya berhias diri di depan cermin, bahkan hingga berjam-jam lamanya. Dia macam ibuku. Lupa waktu. Lupa mati. Gadis pesolek macam dia mana paham soal begitu? Soal dandan, iya.

  Setelah menunggu kurang dari tiga menit, akhirnya larutan dalam tabung reaksi tadi telah menghilang entah ke mana. Larutan itu nyatanya memuai sesuai perkiraan. Itu artinya, larutan itu dapat kugunakan pada tubuhku sendiri tanpa menimbulkan atau meninggalkan efek samping yang terlalu menyakitkan. Sekarang, tinggal aplikasi!

  Larutan yang sama, yang telah kugandakan sudah kumasukkan ke dalam alat suntik. Untuk berjaga-jaga, aku juga tidak lupa mengecek kembali denyut jantungku karena setelah ini, mungkin akan banyak hal yang dapat terjadi atas tubuhku yang mati suri. Baik, jantungku normal. Pintu kamarku telah kukunci. Semua jendela juga sudah tertutup rapat. Inilah saatnya! Kini aku telah menempatkan tubuhku di atas kasur ternyaman, tanpa bantalan. Jarum suntik menyusul masuk ke dalam urat di lengan kiriku. Perlahan, kedua mataku mulai terpejam!

  Buk! Tubuhku langsung tenggelam menembus kasur, meninggalkan fisik lain yang masih tertidur di ranjang tadi! Aku terus menembus sampai melewati inti bumi yang sangat panas. Rentang waktu kejatuhanku begitu cepat. Saking cepatnya, bahkan semua yang tampak atau tertembus olehku hanya terlihat serupa garis-garis cahaya panjang yang melesak begitu saja dalam ruang gelap dan sempit. Posisi tubuhku benar-benar seperti seseorang yang jatuh dari tebing yang amat tinggi. Aku tak mampu mengubah posisi ini, yang padahal aku ingin sekali melihat bentuk dunia dalam bumi yang akan kulewati. Aku tidak berdaya! Sungguh, posisi seperti ini sangat disayangkan!

  Aku tidak tahu apa yang akan kutabrak. Lapisan-lapisan bumi ini hanya masuk begitu saja ke tubuhku lalu menembusnya tanpa mencederaiku. Kalian mungkin berpikir bahwa aku sudah menjadi hantu, tetapi itu tidak benar! Aku masih hidup. Aku dapat mencubit lenganku dan dapat merasakan sakitnya dan jam tanganku juga masih berputar normal. Maka untuk menjawab pertanyaan kalian, ingat, sosokku yang sekarang hanyalah klon bermuatan elektron padat tiga dimensi yang diakibatkan oleh reaksi senyawa kimia yang disuntikkan oleh wujudku yang orisinal. Anggap saja fisik asliku hanya tertidur, tidur yang amat nyenyak mendekati titik mati suri, sehingga aku mampu mengubah persepsi ilusi menjadi nyata. Sungguh, fisika itu gila, Bung!

  Satu detik telah berlalu. Aku telah melewati kobaran api di inti bumi. Sekarang adalah saat-saat yang menegangkan. Demi apa pun yang kalian percayai sebagai Sang Pencipta, sejak tadi aku terus mendengar jeritan, lolongan, serta teriakan manusia yang amat memilukan! Suara-suara itu begitu terang mengiang-ngiang di gendang telingaku. Tambah lagi, di dalam sini aku juga menampaki ribuan tulang manusia dan binatang dari berbagai macam bentuknya. Tulang belulang yang berada di dekat inti bumi tampaknya banyak yang mulai meleleh, sedangkan yang di atasnya masih membatu.

  Kepada kalian, biar kuperkenalkan, inilah dunia mekanika kuantum dalam perspektif berbeda. Jika para ilmuwan masa sekarang lebih berpusat pada ilmu tak kasat mata seukuran nano, maka sekarang lain cerita. Aku akan membawa kalian ke ranah kuantum yang jauh lebih besar, yang tentunya tak pernah kalian bayangkan sebelumnya.

  Sekarang aku telah lolos menembus bumi seutuhnya dalam waktu kurang dari tiga detik (waktu dimensi kuantum). Tadi aku sempat menyayangkan posisi kejatuhanku, namun ternyata posisi ini juga menguntungkan. Dengan begini aku dapat melihat bentuk bumi sebelum aku benar-benar meninggalkannya. Kebulatannya dan kebiruputihannya sangat indah. Tidak ada planet seindah bumi. Tuhan itu hebat. Kekuasaan-Nya telah menentukan planet ini untuk ditinggali oleh berbagai jenis makhluk ciptaan-Nya. Dan kita, para manusia yang ikut berpartisipasi dalam kehidupan di atas keraknya, lantas diberi peran sebagai materi yang paling cerdas.

  Tubuhku telah tersedot tinggi di langit Argentina, memasuki lapisan terluar atmosfer, hingga sampailah aku dalam ruang kegelapan tanpa tekanan udara. Meski begitu, aku tetap dapat bernapas. Paru-paruku selalu mampu menyesuaikan zat hirup apa jua pun secara otomatis, baik itu dalam apa pun keadaannya dan di mana pun tempatnya. Ini semua berkat kandungan formula larutan tadi.

  Sebenarnya ini adalah dunia fisika yang amat mengerikan, Kawan. Kalian mungkin heran dengan sosok diriku sekarang. Kalian mungkin, yang pernah menerima pelajaran di bidang metafisika di sekolah atau universitas tinggi pasti akan mengatakan kalau semua ini hanyalah dongeng karena mustahil dilakukan. Maka dari itu sekali lagi kubilang, inilah dunia fisika! Segalanya menjadi masuk akal dengan dibantu ilmu yang satu ini, karena semua proses dan rekonstruksinya didasarkan pada kombinasi rumus yang telah diciptakan oleh para fisikawan masa dahulu.

  Terus terang, perjalanan waktu semacam ini bukanlah kali pertama kulakukan, namun sudah berkali-kali. Biasanya aku menggunakan kedua teori relativitas Einstein dan satu lagi teori mengenai mekanika kuantum yang dipopulerkan kembali oleh mendiang Hawking, karena ketiga ilmu itu saling berhubungan. Berkat ketiga cabang ilmu itulah aku mampu melakukan perjalanan waktu, menembus atau bahkan berpindah dari satu dimensi ke dimensi lain atau bahkan dari satu semesta ke semesta lain.

  Ada banyak hal yang telah kutemui dalam berbagai perjalananku sebelumnya. Jagat raya yang selama ini kita anggap hanya ada satu, ternyata keliru. Kemudian, semesta yang selama ini kita anggap berada dalam ruang luas yang aman, ternyata juga tidak tepat. Kita akan bahas itu secara spesifik dan mendalam, tentu saja pada waktu yang tepat dan lebih panjang.

  Sekarang aku benar-benar sudah terlempar di ruang hampa dengan kecepatan yang tak lagi dapat kuperhitungkan. Seluruh bentuk klon atas jasadku ini sudah memasuki fase, di mana waktu, energi, massa, tekanan udara, kepepatan, dan cahaya sudah tak berlaku lagi. Aku tidak tahu akan dilempar ke titik mana, yang jelas sosokku sekarang pasti akan mendarat ke tubuh seseorang yang memiliki gen yang mirip denganku (jika memungkinkan) atau ke tempat atau planet yang mempunyai suhu ekstrem di atas minus derajat 70 Celsius. Pilihan terakhir mungkin akan terjadi mengingat salah satu atom penyusun unsur dalam larutan yang kusuntikkan tadi merupakan atom hidrogen yang telah kuekstrak sedemikian rupa.

  Jarum detik di arlojiku telah menunjuk ke angka enam, itu artinya perjalananku sudah menempuh waktu selama lima detik, dan jika perkiraanku benar, maka jarak yang telah tertempuh olehku saat ini kurang lebih mencapai delapan ratus trilliun tahun cahaya. Ya, perkiraanku tidak mungkin memeleset terlalu jauh dikarenakan aku sudah menembus dua buah galaksi dan melewati (bukan memasuki) satu bundel lubang hitam berdiameter sekitar empat koma lima kilometer. Lantas, jika harus kuperhitungkan juga lamanya aku berpisah dengan klon asliku di bumi tadi, kemungkinan klon itu sudah memasuki tahun dua ribu seratusan. Masalah utama bukan pada jarak antar galaksi, melainkan pada lubang cacing tadi. Dikarenakan tekanan medan gravitasinya sempat mengenaiku yang berbanding dengan laju lintasanku, maka nol koma sembilan detik aku berlewat di tepiannya dapat menjadi empat puluh jam hitungan bumi (variasi waktu materi tergantung pada cepat lambatnya materi tersebut melewatinya). Relativitas waktuku pun menjadi tidak stabil bila setiap aku bertemu dengan lubang hitam sialan, apa pun bentuknya!

  Steven Hawking, mendiang ilmuwan terhormat telah memaklumatkan dalam teori lubang hitamnya bahwa waktu di lubang gelap itu tidak lagi relevan, meskipun seseorang hanya sekadar berlewat di tepi horizonnya. Aku sudah membuktikannya sendiri. Hanya saja, apa yang kualami bukan lagi sebatas teori, tetapi nyata. Ilmuwan besar itu pun berpendapat hanya pada satu lubang hitam, itu jelas. Namanya juga teori. Terbatas. Teori mana pun tidak akan mampu menjelaskan secara akurat mengenai volumenya, jumlahnya, variasinya, termasuk keadaan materi atau nonmateri di dalam suatu lubang hitam, yang mana sekali dahulu aku pernah memasuki sebuah gudang lubang hitam. Kuistilahkan sebagai gudang karena di dalamnya terdapat sebuah semesta yang ditempati oleh ribuan lubang hitam yang saling berdekatan, saling hisap, dan dan saling menghancurkan! Di dalam sana, ruang waktu menjadi semakin sempit, sedangkan hitungan masa di bumi semakin bertambah. Itu mengerikan! Pemandangan serta kenyataan di dalam lubang itu persis seperti sebuah ruangan sempit yang dijejali kerumunan zombi kelaparan! Tanpa adanya manusia sehat, mereka terpaksa memakan daging zombie di antara mereka sendiri untuk bertahan hidup.

  Jika perkiraanku tepat, maka kurang dari tiga menit lagi klonku ini akan memuai, persis rentang waktu pemuaian zat dalam tabung uji coba tadi. Seharusnya dua detik lagi tubuhku sudah mendarat di tempat yang kuperkirakan, namun sayangnya perjalanan ini akan memakan waktu sangat jauh, sangat panjang. Buktinya sampai saat ini pun tubuhku masih terus tersedot, menembus beberapa biji planet, memasuki awan asam, atau ditabraki oleh sekumpulan meteor sasar.

  Selain untuk kajian ilmiah, semua ini juga kulakukan demi mencari keberadaan Tuhan. Selama ini aku percaya bahwa Tuhan itu memang ada, tetapi proyek perjalanan semacam ini baru kulakukan sejak empat tahun yang lampau. Aku hanya penasaran dengan sifat gaib Tuhan yang aku anuti. Dalam dunia sains IPA, utamanya fisika klasik, kegaiban itu tidak ada. Begitu pun kimia, karena kedua cabang ilmu itu selalu menuntun penuntutnya ke suatu hal yang sifatnya materialis. Bahkan proton, neutron, maupun elektron yang membangun sebuah kerangka atom juga diklarifikasikan sebagai materi, bukan nonmateri.

  Namun, dalam sisi agama (utamanya Islam), dunia itu dibagi oleh Sang Pencipta secara berpasangan. Materi, nonmateri. Hal itu dilakukan Tuhan demi menjaga kesetimbangan alam semesta. Benda yang diciptakan Tuhan sebagiannya dibuat dalam bentuk fisik yang dapat dirasakan oleh lima indera, termasuk mata, sedangkan sebagian lagi hanya dapat dirasakan dengan salah satu indera perasa, contoh sederhananya seperti adanya perasaan sakit di kuping si A berikut pula sisa-sisanya, yakni setelah si A kena jewer bapaknya.

  Lebih jauh. Dalam contoh kasus yang dialami si A di atas terjadi perbedaan pandangan antara cara tilik dalam dunia sains dengan agama. Sains biologi mengatakan, rasa sakit dalam contoh tadi disebabkan oleh adanya rangsangan di kulit. Pada tempat yang terdampak rangsangan itu nantinya akan menimbulkan bekas memerah atau bisa saja akan mengalami koyak dan berdarah. Keadaan itu tentu tergantung pada besar kecilnya skala gaya putar yang diberikan oleh tangan si bapak ke telinga si A dan seberapa kuat tulang rawan telinga si A untuk mampu menahan beban gaya yang diterimanya dari tangan si bapak yang tak kenal kompromi (sains fisika).

  Hanya, hal rumit demikian tidak berlaku jika dibicarakan dalam lingkup dunia religi. Para penganut agama umumnya tidak suka dibuat pusing untuk masalah sepele begitu. Dalam pandangan mereka, hal semacam itu sudah lumrah terjadi. Si A, yang merupakan jelmaan dari anak si bapak, dijewer karena kenakalannya. Siapa yang suruh si A sampai nekat main layang-layang di dekat kabel tiga? Atas kenakalannya, wajar saja si bapak menjewernya sampai kupingnya merah. Sampai berdarah pun tak apa. Bentuk teguran semacam demikian jelas lebih baik ketimbang ajal yang lebih dulu menegur si A. Simpel sekali, bukan? Tetapi, itu bagi penganut yang tak problematik. Bagaimana dengan si penganut agama yang juga memiliki ilmu pengetahuan, terutama sains? Jelas beda lagi. Berikut, Kawan!

  Seorang pengamat religius yang juga dibekali ilmu tentang sains, maka cara pandangnya otomatis juga berbeda dari kebanyakan manusia pada umumnya. Pada kasus yang sama, pertama-tama ia akan mencari tahu tentang sebab akibat terjadinya kasus penjeweran pada diri si A dari perspektif ilmu sains sekaligus agama. Bekas dan dampak rangsangan pada kulit telinga si A sangat wajar, karena si A adalah manusia, sedangkan unsur pembentuk tubuh manusia adalah tanah. Tanah tentunya selalu memiliki massa. Andai si A tercipta dari cahaya, maka mustahil ia dapat merasakan rangsangan rasa sakit itu, sebab cahaya sama-sama tidak memiliki massa. Sudah selesaikah? Ternyata belum, Kawan!

  Selanjutnya, si pengamat yang religius dan saintis tentu akan menyeimbangkan kedua kejadian itu menjadi hubungan sebab akibat yang utuh dan masuk akal dalam berbagai perspektif umum. Si pengamat akan senantiasa memaklumi bentuk teguran yang diberikan si bapak kepada si A karena bentuk kenakalan yang dilakukan si A pastilah berpotensi merugikan diri si A sendiri maupun orang lain, meskipun si A bukanlah anaknya si bapak. Kesalahan yang mungkin terjadi saat si A bermain layangan di dekat kabel tiga PLN dapat mengakibatkan si A terkena sambaran listrik bertegangan ribuan voltase. Akhirnya, si A bisa mati hangus gosong, mayatnya menyusahkan orang lain, kematian si A akan menimbulkan kesedihan pada pihak keluarganya, dan kronologi kematian si A akan membuat pihak PLN harus berurusan dengan penegak keadilan.

  Kasus tadi harusnya sudah kelar, tentunya untuk menjawab tantangan umum dalam aspek sains, agama, berikut pula aspek nilai kehidupan duniawi. Tetapi, yang namanya seorang saintis religius, pemikirannya masih saja berlanjut. Ia takkan berhenti berpikir sampai di titik itu saja. Ia akan berpikir lebih jauh, yakni tentang kebetapahebatnya kuasa Tuhan yang telah menciptakan rasa sakit bekas jeweran itu, yang bahkan mampu membuat si A menangis histeris. Cara kerja rangsangan itu begitu instan, tidak terlihat oleh mata, tidak dapat dihitung dalam satuan, tetapi dapat dirasakan. Hal ini dikarenakan rangsangan semacam itu tidak memiliki bentuk sehingga ia juga tidak memiliki massa. Dalam konteks contoh yang sederhana ini, jelas kadar ilmu Tuhan jauh lebih maju ketimbang pengetahuan para ilmuwan pada zaman dahulu maupun di masa sekarang. Faktanya, kejadian seperti contoh di atas selalu memiliki siklus yang sama sejak silam kala, bahkan saat itu para ilmuwan saja masih belum lahir ke dunia. Lantas pertanyaannya, Jika bukan Tuhan, siapakah gerangan makhluk lainnya yang mampu menciptakan bentuk rangsangan seluar biasa demikian?

  Prediksi awalku ternyata hanya memeleset tiga detik. Kini aku telah terdampar di sebuah lembah nan beku yang kerap dihajar angin topan, yang bila kuperkirakan suhunya sedang berada di bawah minus sembilan puluh derajat Celsius. Wujudku dapat bertahan di sini dikarenakan adanya penyesuaian unsur helium dengan alam. Tanpa itu, maka besar kemungkinan aku sudah hancur bahkan sebelum aku memasuki lapisan tebal atmosfer planet ini.

  Beruntungnya planet ini sudi menerimaku sebagai tamu malamnya. Meskipun dengan sambutan yang tidak terlalu ramah, setidaknya hal itu sudah cukup membuatku sangat senang. Bintang-bintang terang berhamburan di atasku dan mereka seolah berpindah cukup cepat, yang akhirnya membuatku sadar bahwa planet ini berotasi dengan kecepatan yang cukup ekstrem. Menurut perhitunganku, rotasi planet ini setara dengan tujuh atau delapan kali rotasi Bumi pada sumbunya. Selain tiupan topan, mungkin fenomena ini jugalah yang turut memengaruhi situasi alam di sini.

  Kecepatan rotasi serta ekstremnya suhu itu pula yang membuatku yakin bahwa ukuran planet ini setidaknya sekitaran empat belas hingga lima belas kali ukuran Bumi. Memang ada juga planet kecil yang memiliki kecepatan rotasi sedemikian besar, namun biasanya planet itu tidak akan berumur panjang dikarenakan ia akan terdampak oleh tingginya tekanan udara dan medan gravitasi pada atmosfernya. Kedua masalah itu pada akhirnya dapat menyusutkan ukuran planet terkait.

  Sejak pendaratan tadi, aku masih belum tahu sedang berada di ufuk mana sekarang. Yang jelas, planet ini pasti berjarak sangat jauh dari pusat sumber tata suryanya, sehingga aku hanya menampak sedikit sekali cahaya berenergi yang sampai ke permukaan planet cantik ini.

  Jarum merah di arlojiku kembali berdetak normal. Sepertinya kelajuanku telah terhenti sepenuhnya. Kemungkinan, biasanya tepat, klon ini hanya dapat bertahan selama dua menit di sini. Itu adalah prediksi maksimum sebelum nantinya klon ini memuai dan hilang. Ingat, hasil prediksi hitungan itu kudasarkan pada kepepatan wujudku yang hanya terdiri dari lima persen orisinal, yaitu kesadaran, sementara sisanya hanyalah gas padat dan sel mati Amoeba, yang kubandingkan dengan kepadatan gas serta suhu yang tersedia di planet ini.

  Aku tak punya waktu banyak. Lantas kumulai saja perjalanan ini, mendaki bukit yang telah mengkristal, demi menyusuri sebentar permukaan planet ini. Seperti biasa, dalam setiap penjelajahanku, aku berharap di sinilah aku dapat bertemu Zat Tuhan Yang Agung. Aku berharap perjalanan panjang dan penuh risiko ini membuahkan hasil yang memuaskan. Aku berharap apa yang selama ini kucari-cari dapat kutemui di sini. Dengan kecerdasan ini, aku ingin melabrak total kediaman Tuhan sampai ke tempat tidurnya sekali!

  Planet ini adalah planet yang sangat jauh, jauh dari Bumi, jauh dari Galaksi Bimasakti. Jaraknya dari bumi sudah tak bisa kuhitung lagi. Mungkin triliunan tahun cahaya, jutaan trilliun, atau lebih jauh lagi. Untungnya saat perjalanan tadi aku tidak bertemu atau bahkan memasuki kawasan Lubang Hitam Sara 110 (nama depannya berdasarkan nama belakangku sebagai penemunya). Biasa aku menyebutnya sebagai satu sepuluh karena medan gravitasinya berkisar antara seratus sepuluh hingga seratus sebelas pangkat sepuluh. Angka pangkat pada nama itu merupakan perkalian dari total medan gravitasi Matahari di tata surya Bimasakti. Kalian bisa bayangkan, andai tadi aku memasukinya juga, maka perjalanan ini akan menjadi sepuluh kali lipat jauhnya. Ditambah, nantinya klon asliku bakal diharuskan untuk menjalani terapi otak selama tiga bulan di rumah sakit.

  Dalam pengamatanku jelas sudah bahwa planet ini memang merupakan raksasa es, utamanya dikarenakan kurangnya terkena cahaya berenergi. Badai topan juga tidak henti-hentinya bertiup barang sedetik pun. Kabut kebiru-biruan yang bercampur dengan butiran embun es terlihat semakin pekat. Jika keadaanya terus-terusan seperti ini, maka planet ini memanglah tidak cocok jadi hunian manusia. Terang saja. Aku merasa, semakin lama aku berada di sini, keadaanku juga menjadi semakin memburuk. Cuaca di belahan planet yang kupijaki ini benar-benar kejam.

  Selain itu, ia juga merupakan planet pasif, maksudnya ia tidak memiliki gunung sangat tinggi yang berpotensi dapat meletus kapan saja. Gunung-gunung itu terpancang secara sendiri-sendiri, terpisah-pisah sangat jauh, dan permukaan pegunungan itu sama-sama telah ditutupi oleh kristal es yang sangat tebal dan keras. Aku sudah mencoba memecahkan batuan es itu dengan menginjak-injaknya, namun kepadatannya melebihi staminaku.

  Aku memang tidak dapat menerka-nerka tentang kandungan atmosfer sang planet, tetapi aku yakin salah satu gas pembentuknya adalah helium. Selain itu hal yang meyakinkanku adalah kerak utama di bawah lapisan es ini. Sebagian besar tanahnya atau sekitar dua puluh persen di antaranya mengandung unsur aktinium. Ya, planet ini cukup kaya akan bijih besi. Aku menyadari kedua unsur tersebut lantaran klonku yang amat halus ini dapat berpijak di atasnya, bukan menembusnya begitu saja seperti planet lainnya. Itu artinya terdapat kecocokan antara unsur dalam larutan formula dengan unsur alam di sini.

  Berdasar pertimbangan, kurasa memang tidak ada kehidupan di planet beku ini, bahkan dari bangsa nyamuk sekalipun. Angin topan setiap detik datang dari berbagai arah, bertiup kencang hingga menambah tingkat hawa dingin planet ini. Bahkan seekor beruang yang mempunyai bulu tebal di tubuhnya pun tak mungkin sanggup menghadapi cuaca semacam ini.

  Aku terus berjalan menyusuri daratan putih biru ini. Benar. Sejak tadi memang tidak kutemui adanya kehidupan selain klonku. Apa iya Tuhan suka tempat yang dingin? Aku tidak yakin. Tetapi, bisa jadi. Tuhan yang menciptakan rasa dingin, dingin bagi-Nya hanya serupa biji kacang polong dalam karungnya. Dengan kata lain, alangkah baik bila aku tidak menyerah sekarang.

  Bintang-bintang telah menghilang dari atas kepalaku. Itu artinya malam telah berlalu, berganti siang. Hanya cuaca siang di sini masih kurang lebih sama dengan cuaca tadi malam. Dan omong-omong, aku baru semenit berada di sini, Kawan!

  Aku telah menentukan satu nama yang tepat untuk planet ini. Namanya Mustar E-80. Mustar dulunya adalah mantan kekasihku. Sifatnya sangat dingin, dan gayanya kaku sekali, persis planet ini. Dia tidak suka berada di tempat terang, mirip planet ini. Dia juga penyendiri kronis, benar-benar seperti planet ini!

  Kemudian tentang huruf kapital E pada nama tadi merupakan singkatan dari Es, sedangkan -80 adalah tingkat minus derajat minimum sang planet yang dapat kuprediksi. Ya, kalau bicara soal tasmiyah, aku lumayan ulung juga, Kawan.

  Kelihatannya kebahagianku akan berakhir sampai di sini. Aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi di Mustar E-80 ini. Langkah-langkahku sudah semakin berat seberat tabung elpiji berisi gas dua belas kilo. Aku bisa merasakan kulitku yang mulai mengerut, kedua kakiku juga sudah membeku seiring detik berlalu, disusul pula paha, pinggang, dan perutku. Proses pemuaian yang kuperhitungkan di awal-awal tadi tampaknya akan diganti oleh prosesi pembekuan. Sekarang proses itu telah mencapai leher, berikut pula ujung-ujung kukuku. Hingga kesadaranku hampir menghilang, untuk terakhir kalinya aku menaruh harapan untuk bisa menjelajahi planet ini lagi. Tentu saja di masa depan nanti dengan waktu batasan yang lebih lama.

  "Selamat tinggal, Mustar," bisikku sebelum embun-embun es menyelubungi kedua mataku. Dan di saat itulah kesadaran klonku melenyap.

  Kesadaranku nyatanya telah beralih kembali ke wujud asliku di bumi. Untuk sementara aku harus bertahan di posisiku sekarang. Aku tidak mau pengaruh gelombang anomali gravitasi yang disebabkan oleh kerasnya perjalanan tadi sampai mengganggu fungsi otakku.

  Sebentar kemudian kulihat pintu kamar dan jendelaku masih dalam keadaan terkunci. Kulirik pula akan sepasang ikan koi di aquarium yang belum juga terlihat tanda mereka bakal berkawin dan beranak. Agah! Jangankan kawin, saling pandang saja tidak! Bagaimana caranya bisa beranak!

  Sekarang satu menit telah berlalu. Aku sudah mampu mengontrol pikiran serta dapat mengingat semua yang telah dialami oleh klonku sebelumnya. Tadi itu benar-benar sebuah perjalanan yang amat jauh. Jauh di jarak, jauh di nalar. Hal yang paling membekas dalam ingatanku hanya terletak pada keindahan permukaan Mustar E-80 yang ditutupi salju beku dan kristal es yang amat keras. Bicara soal saat lepasnya klonku dari tubuh aslinya tidak terlalu membuatku terkesima.

  Yang kusayangkan dalam perjalanan yang singkat itu hanyalah ketidakdapatnya aku bertemu Sang Pencipta, tentunya di planet itu. Ya, perjalanan itu juga membuatku bersyukur karena setidaknya aku sudah diterima sebagai tamu di Mustar, yang mana tidak semua makhluk Tuhan dapat mencapai planet tersebut. Walau waktunya sangat singkat, tetapi itu sudah cukup membekas di benakku.

  Aku pun bangkit dari pembaringanku, lalu kubuka jendela kamar, maka tampaklah olehku si pesolek Riana, tetangga sebelah yang masih belum selesai mengeringkan rambutnya. Aku lantas tersenyum jenaka. Ah, waktu benar-benar hanyalah selembar ilusi yang terperangkap dalam suatu ruang tiga dimensi.

Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Horor/Baur

Cerpen Horor/Baur 2

Cerpen Horor/Baur 2