Cerpen Kehidupan: Janur
Mimpi Besar
Kategori: Cerpen
Prioritas: Di Atas 15 Tahun
Pagi datang. Sinar matahari menyilaukanku, menembus ventilasi di jendela kamarku, membentuk seperti empat batang samurai yang menusuk tepat di daun pintu. Aku bangkit dari pembaringan, lalu kubuka garden yang menutupi kaca jendela, dan di saat itulah mataku terbelalak ketika tampak olehku berpuluh-puluh pohon sakura yang menghias rapi di halaman rumahku. Daun-daunnya yang merah muda jatuh merekah ke tanah. Wah! Aku sedang berada di Jepang!
Langsung saja kubuka daun jendela. Aku ingin melihatnya lebih jelas lagi dan ternyata pemandangan indah itu nyata adanya. Aku masih belum percaya akan semua ini. Kukucek-kucek mataku guna meyakinkan keraguan dalam hati. Dan, benarlah apa yang kulihat kini. Ini sama sekali bukan mimpi. Bukan sekadar tipu-tipu!
Tetapi, tunggu! Biar kuingat-ingat lagi. Rasanya ini tidak nyata! Kemarin aku masih main layangan bersama anak-anak di kampungku, di Kotabaru, Indonesia. Kami main layangan di pinggir jalan raya. Satu anak yang bermain bersamaku saat itu tewas ditempat setelah disetrum tali tiga. Lantas, bagaimana mungkin hari ini aku sudah terbangun di Jepang? Ataukah jangan-jangan aku memang masih di Kotabaru dan pepohonan sakura yang kulihat ini adalah bibit pohon sakura yang seminggu lalu kutanam di halaman rumahku? Ah, mana mungkin! Pohon takkan langsung menjulang tinggi hanya dalam seminggu, bukan? Ataukah mungkin ini Negara Belanda? Tidak. Itu mustahil. Di Belanda, yang tumbuh bukan pohon sakura, tapi pohon kincir angin. Astaga, berarti sekarang aku benar-benar berada di Jepang! Siapakah gerangan orang baik hati yang telah mengirimku ke sini...?
"Bangun!"
Teriakan Ibu dari luar kamar tiba-tiba saja menggelegar hingga nyaris membelah gendang telingaku. Aku terkesiap. Sedetik kemudian bunga-bunga sakura yang merekah indah langsung menjadi layu dan berguguran. Buyar sudah kenyataan yang hampir meyakinkanku di alam mimpi.
Kulirik jam beker bergambar Doraemon yang tengah ternganga lantaran tiga lubang jarum menancap tepat di hidung merahnya. Jam tujuh. Waktu berangkat sekolah tinggal lima belas menit. Lima menit mandi tanpa gosok gigi, lima menit makan tanpa bicara, lima menit di jalan sambil menampari pantat-pantat siswi SMA yang siap jadi jalang.
Aku beringsut di kasur dengan malas. Kubuka gorden. Berharap di depan gorden itu adalah halaman rumahku yang mana di sana terdapat barisan pohon sakura di musim gugur. Tetapi, ekspektasi yang satu ini jelas tak bisa mengubah kenyataan. Mimpi hanyalah mimpi. Kenyataannya, yang kulihat di balik gorden itu hanyalah halaman belakang rumahku yang penuh sesak oleh lima belas kandang ayam. Suara puluhan anak ayam kelaparan begitu bising, sampai-sampai aku merasa tak tega mendengarnya. Malah, perasaanku jadi semakin benci tatkala kulihat seekor induk sedang bermesraan dengan si jantan tak tahu malu. Spontan gorden kututup lagi. Benci aku, benci!
"Mak! Anak ayam di luar buat rusuh!" aku berteriak sambil membanting pintu.
"Kauberi mereka makanlah, Janur."
"Tak bisa, Mak. Waktu Janur tinggal sepuluh menit lagi. Kalau sampai telat lagi, saya bakal disuruh push-up lagi sama Pak Swandi."
Pak Swandi, guru pengajar Fisika itu merupakan salah satu guru tergalak di SMA-ku, selain Pak Rahmat dan Pak Zul. Aku sudah berkali-kali ditendangnya. Kuhitung, sudah tiga kali aku kena jurus pamungkasnya itu. Satu, karena tak ikut acara Maulid. Dua, karena lupa bawa topi di upacara Senin pagi. Terakhir, karena mengintip ruang ganti siswi. Tapi, entah mengapa kegalakannya itu membuatku selalu mengingatnya?
"Janur, bukannya hari ini hari Minggu?" ibuku mengingatkan.
"Ah! Aku lupa!" seruku langsung, lalu aku tertawa menang. "Kalau begitu aku mau melanjutkan tid...!"
"Jangan dilanjut, Nur," tegur Ibu tenang. "Ingat mimpi besarmu. Jepang takkan sudi menerima orang-orang pemalas yang kerjaannya hanya tidur saja."
Pintu kamar yang sudah terbuka setengah langsung kubanting untuk yang kedua kali. Aku merengut sambil meraih kursi makan dengan kakiku.
"Lantas, apa yang harus kulakukan untuk menghabiskan waktu libur yang tak berguna ini. Tanpa lanjut tidur, aku tak bisa melihat Jepang, tak ada gadis-gadis SMA Jepang, tak ada bunga sakura, tak ada, tidak ada. Libur tanpa tidur, lebih baik aku tak pernah dilahirkan."
"Dasar anak gendeng! Ada banyak hal positif yang bisa dilakukan selama libur selain tidur, Nur. Waktu terus berjalan selama kau tidur mati, apa kau tak pernah menyadarinya?"
"Hidup untuk tidur. Tidur itu sehat."
"Sehat gundulmu! Cepat, beri makan ayam-ayammu sana!"
Ayam-ayamku? Yang benar saja! Yang dulu mengirim mereka ke sini untuk dilapari, siapa? Dasar!
Meski hati berontak, tapi aku tak bisa membantah perintah beliau. Dengan malas yang terus menggelayut di pundak, pergi juga aku ke halaman belakang. Tak aku hiraukan anak-anak ayam yang berdiri menyambut kedatanganku. Mereka semua pasti berharap untuk dikeluarkan, tapi harapan mereka itu seperti mimpiku. Badanku dan badan anak-anak ayam itu tak mungkin membesar dalam sehari. Mimpi hanya teraih bila diri sudah dewasa dan telah banyak mengalami derita. Maka, apabila terdengar berita ada bocah ingusan sudah menjadi milyarder, berarti bocah itu memang anak orang kaya. Biasanya, lantaran kurangnya pengalaman hidupnya itu pada akhirnya akan membuatnya tinggi hati dan suka berdandan layaknya orang barat. Rambut dicat putih dan gaya bicaranya akan selalu memberi kesan bahwa hanya dirinyalah yang dinasibbaikkan oleh Yang Kuasa. Aku tak mau seperti itu. Aku ingin seperti anak-anak ayam ini. Dipenjarakan dulu, dinasehati dulu, dan merangkai mimpi-mimpi dulu sampai besar. Baru setelah itu, siaplah aku terbang ke mana pun aku mau, bahkan ke Jepang, seperti mimpiku. Kekejaman hidup seperti apapun di Jepang sana pasti bisa kuatasi selama aku berada di bawah payung yang bernama pengalaman hidup.
Tanganku perlahan meraih kantong bama yang tergantung tepat di bawah atap kandang. Kuambil baskom kecil yang tergeletak di satu kaki kandang, kuisi air secukupnya, kucampurkan bama tadi ke dalamnya, lalu kuaduk rata. Proses pengadukan ini cukup menguras waktu. Aku harus pastikan semua biji bama sudah terbasahi semua, sebab kalau belum, bisa-bisa ada anak ayamnya yang mati keselek. Sebab kata buku Biologi, bangsa ayam itu tidak punya gigi untuk mengunyah makanan keras dan kering. Artinya, paruh mereka hanya didesain untuk mematuk makanan dan lidah mereka gunakan untuk mendorong langsung semua makanan ke kerongkongan.
Setelah bama teraduk rata, aku masih harus mengambil ke empat belas baskom kecil lainnya di tiap kandang. Bama yang sudah siap saji tadi mesti kubagi lagi menjadi empat belas baskom agar hasilnya bisa mencukupi taleh seluruh anak ayam di sini. Setelah persiapan selesai, barulah baskom-baskom berisi bama itu kumasukkan satu per satu ke tiap kandang. Saat memasukkannya pun aku juga harus berhati-hati. Jangan sampai baskom yang kumasukkan itu menabrak anak ayam yang sudah tak sabaran. Hal itu bisa saja melukai mereka. Sebab, ayam tak bisa mengatakan "sakit, Bung"! Mereka hanya bisa teriak, "piak, piak!". Atau bisa saja ada salah satu anak ayam usil yang langsung menyambar tanganku, bukannya bama di baskomnya. Kalau peristiwa yang kedua itu aku sering mengalaminya. Pelakunya pasti anak ayam yang sangat rakus. Tangan majikannya pun sampai mau dimakan.
Akhirnya, usai sudah acara memberi makan anak ayam di sini. Aku puas. Kulihat sekelilingku, beberapa ekor ayam dewasa tampak sedang memperhatikanku dengan sinar mata sayu. Tampaknya mereka juga berharap dapat jatah bama.
"Tidak ada bama bagi kalian! Kalian sudah besar! Hus!" usirku seraya mengibas-ngibaskan tanganku ke udara. Ayam-ayam itu sontak berlarian menjauh.
Ya, itu sebabnya kalian semua dibiarkan bebas, benakku. Tidak seperti anak-anak kalian yang belum mengerti dunia. Kalau sudah besar, tak perlu di kandang lagi juga tak apa. Kalian sudah bisa jaga diri sendiri. Kalau ada biawak, lari. Kalau ada pasangan, kawini. Usah minta bama lagi pada majikan kalian ini.
Pagi mulai menyengat. Sinar kemerahan di ufuk timur sana terasa membakar kulitku yang belum mandi ini. Hari libur kali ini merupakan hari libur yang paling menyedihkan. Hari ini, kondisi Januardi cabul yang bermimpi pergi ke Jepang ini begitu mengenaskan. Pagi-pagi sudah harus main kotor-kotoran untuk memberi makan anak ayam. Sungguh mengenaskan.
Duduklah aku tak jauh di bawah pohon jambu yang terpancang di samping kandang ayam. Aku duduk tepat di bawah lebatnya bayangan ranting dan dedaunannya. Pohon ini lumayan menaungi. Perasaan nyaman itu makin membuaiku tatkala kurasakan sekelebat angin melewatiku begitu saja dengan acuh. Cukup lama kuperhatikan anak-anak ayam yang sedang berkerumun melahap bama di masing-masing kandang. Kadang di antara mereka ada yang berkelahi memperebutkan jatah makan, tapi ketika mereka tengah lalai dalam perkelahian, akan ada satu atau dua lainnya yang mencuri kesempatan itu. Kurasa itu sangat licik. Namun, pada akhirnya mereka akan kembali berciuman setelah menyadari bahwa apa yang telah mereka lakukan itu ternyata salah dan membuang-buang tenaga. Mereka pun lantas mendorong anak-anak licik tadi dan terjadilah kembali pertarungan sengit. Dan di saat-saat seperti itu akan muncul lagi anak-anak licik lainnya. Siklus kebodohan seputar kandang itu tanpa sadar membuatku terbahak.
Mataku ganti memandangi kebun kecilku. Itulah kebun bunga sakura versi diriku. Kebun itu baru selesai kukerjakan sejak minggu lalu. Kebun kecil itu hanya terdiri dari lima buah ranting yang merupakan bibit sakura. Aku mendapatkannya dari tangan Pak Sugiono, ayahnya Anto. Pak Sugiono memberikannya padaku sehari setelah kepulangannya dari Negeri Bambu itu. Saat memberikannya beliau mengaku bahwa beliau memperoleh bibit itu langsung dari tangan seorang geisha. Aduhai, betapa senang hatiku kala mendengar pengakuan beliau tersebut. Saking senangnya, aku langsung menanamnya di hari itu juga.
Pergi ke Jepang adalah mimpi besarku, meskipun hanya sebatas Kota Tokyo saja yang baru kuketahui saat ini. Maksudku secara garis besarnya. Kata Pak Sugi, Tokyo itu megah, lebih megah dibanding Kota Jakarta. Di alun-alun kota itu ada sebuah tower seperti Menara Effell yang dinamakan Tokyo Tower. Wah, rasanya aku ingin sekali berselfie di bawahnya. Foto bareng siswi SMA, tentunya. Biar fotonya kujadikan bahan ejakulasi mandiri bila sedang menganggur.
"Jepang itu memang indah, Nur," Pak Sugi bercerita. Cerita ini kudengarkan sesaat setelah beliau memberikan bibit bunga sakura padaku. "Segala yang ada di dunia ini, ada di Jepang sana. Hal itulah yang membuat Jepang selalu tampak sempurna di mata dunia. Tapi, kau harus tahu, Nur, di balik kesempurnaan selalu ada kekurangan. Kesempurnaan hanya dimiliki oleh Sang Pencipta. Artinya, jika ada makhluk lain yang mencoba menyaingi-Nya, maka yang didapat bukanlah kesempurnaan yang sempurna, melainkan kekurangan ditimbun kekurangan."
"Lantas, apa yang kurang di sana?"
"Moral. Ada banyak sekali kejahatan yang terjadi di Jepang setiap harinya. Khususnya di Kota Tokyo. Tingkat kekerasan di sana sangat tinggi, lebih tinggi di banding kota-kota lainnya. Perampokan, pembunuhan, pemerasan, dan pemerkosaan sudah menjadi hal lumrah di sana. Hal ini dikarenakan tingginya nilai perekonomian di negara itu, sehingga kejahatan terjadi di mana-mana dan kapan saja. Aku sendiri pernah ditodong pisau oleh seorang penjahat."
"Benarkah!"
"Ya, itu benar. Tetapi, aku tak mungkin menceritakannya padamu, sebab kejadian itu sudah sangat lama. Aku sudah tak begitu mengingatnya."
Aku diam membenak. Berarti kondisi di Jepang itu hampir mirip dengan kondisi Pulau Jawa, khususnya Jakarta. Sebab, di Jakarta juga sering terjadi kasus kejahatan serupa. Begitulah yang sering kulihat di TV. Di acara berita, hanya Ibukota saja yang paling menonjolkan kasus dari sekian kasus kejahatan di Indonesia. Padahal negara ini sangat luas. Sekali pandang saja ibarat menatap lautan lepas. Tak ada ujung yang tertangkap mata. Kau melambai di Kotabaru, belum tentu temanmu di Surabaya langsung melihat lambai tanganmu. Kecuali lewat Facebook. Itu pun cuma pakai jempol.
Mungkin seperti wejangan Pak Zul, guru Ekonomi di sekolahku. Kata beliau, sejak tahun millineum, Indonesia sudah memberikan aturan tentang KB alias Keluarga Berencana. Ini berlaku bagi seluruh keluarga di Indonesia. Setiap keluarga hanya boleh memproduksi dua anak. Lebih dari itu, sakit lutut bapaknya. Ah! Maksudku, lebih dari itu, dikhawatirkan akan terjadi kesulitan ekonomi dalam keluarga yang bersangkutan. Mulai sekarang, kuburlah istilah 'banyak anak, banyak rezeki', tapi tanamlah istilah baru 'banyak anak, pusing kepala babeh'.
Lanjut Pak Zul, kepadatan penduduk berpengaruh besar pada sistem finansial suatu negara. Terlalu sedikit, salah. Terlalu banyak, juga salah. Bila suatu negara mengalami kekurangan penduduk, maka nasib perekonomiannya bagaikan telur di ujung tanduk. Tapi, apabila keadaannya malah sebaliknya, maka terima tidak terima, negara itu pasti akan berlumuran darah. Kejahatan akan muncul di mana-mana, seperti pencurian, perampokan, pemerasan, dan lainnya.
Kejahatan berdasar perekonomian itu tentu saja akan menimbulkan kejahatan yang lain, yang lain, dan yang lain lagi. Satu kasus pencurian akan berganda menjadi kasus pemerkosaan dan pembunuhan. Kasus perampokan berevolusi menjadi kasus penembakan, pembunuhan, penyekapan, lalu kasus penculikan. Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas segala kejahatan di tiap negara? Presidennyakah? Mana mungkin, bukan? Presiden takkan tahu-menahu dengan segala kejahatan yang terjadi di negaranya. Dia sendiri juga sudah dibuat pusing oleh rencana-rencana tugas kepemimpinannya.
"Tetapi, Pak Sugi," kataku, "bagaimana dengan keramahan masyarakat Jepang yang tergambar di film-film dan anime-anime di TV?"
Pak Sugi tersenyum mendengarnya. "Itu hanyalah kedok, Nur," jawab beliau. "Semua kebaikan dan keramahan yang ditampilkan di film dan anime Jepang itu palsu belaka. Mungkin di beberapa anime atau film juga menayangkan adegan kekerasan, tapi kenyataannya tidaklah sebagus itu. Kenyataannya malah lebih mengerikan lagi. Jika di anime dan film yang kautonton mengadegankan sebuah pertarungan yang diperankan oleh dua kubu anak nakal yang hanya berbekal tinju, pada kenyataannya anak-anak geng di sana selalu membawa senjata tajam ke mana pun mereka pergi. Begitulah kenyataannya, Nur."
Aku terhenyak. Membayangkan cerita Pak Sugiono mengenai kesuraman Jepang memang sempat membuatku bergidik. Tapi, ketika kualihkan lamunanku pada mimpi-mimpiku yang ingin bertahan hidup seperti anak-anak ayam di dalam kandang itu, entah mengapa hasrat itu kembali terbangun. Kutengok lagi kebun kecilku yang terhampar di halaman depan, mimpiku yang tadinya sudah terbangun, malah makin terjaga. Sepertinya, pergi ke Jepang memang sudah menjadi mimpi sejatiku.
Selesai.

Komentar
Posting Komentar