Cerpen Horor/Baur


 

  Nyo Teng

  Bicara soal takdir, bagi sebagian orang bukanlah sebuah topik yang menyenangkan untuk dibahas secara mendalam. Itu karena takdir kerap dikait-kaitkan dengan sesuatu yang sifatnya religi, baik itu tentang kodrat manusia maupun tentang kemahaluasnya kekuasaan Ilahi.

  Takdir selalu tampil di setiap aspek kehidupan yang ada di semesta ini. Elemen penunjangnya adalah waktu, pilihan, dan akibatnya. Ia ibarat sebuah koin yang memiliki dua sisi mata uang, yang keadaannya tengah berputar di atas meja. Setiap putaran itu nantinya akan melambat seiring waktu, berikut pula sebetapa besar hambatan yang dilaluinya dalam setiap gerakannya. Yang akhirnya, takdir akan selalu hadir di saat terakhir dalam bentuk satu kenyataan yang tak bisa terbantahkan, tak bisa dimundurkan, dan tak bisa diulang.

  Nyo Teng, namanya. Dia adalah seorang pria. Dia sedang patah hati sekarang. Kekasihnya yang sudah ia pinang setahun lalu, kini, pada hari ini telah diperistri orang.

  Orang yang merebut kekasihnya itu juga bukan orang jauh, melainkan masih tersangkut darah dengannya. Yaitu, sepupunya sendiri. Orang Banjar menyebutnya sepupu sekali, karena si sepupu itu adalah anak dari saudara perempuan neneknya.

  Cinta tak kenal keluarga. Sama halnya dengan dinar atau dolar. Jangan bilang kalau Nyo Teng akan menyerah pada keadaan yang telah membuatnya pupus harapan. Hatinya yang koyak harus terbayar lunas!

  Rencana awalnya ia ingin menghabisi sepupunya yang bangsat itu dengan cara to the point. Tetapi, hal itu terlalu berisiko. Risikonya pidana dengan pasal minimal dua belas tahun penjara. Dia memang punya saudara lelaki yang saat ini menjabat sebagai anggota Pemda, namun ia tak mau sampai membebani saudaranya itu ke dalam rencana jahatnya.

  Seminggu pun telah berlalu. Dengan berat. Dengan gamang. Waktu sepekan seakan melintas lamban di sekitarnya. Mantan kekasihnya itu pasti sudah ditiduri oleh sepupunya. Berkali-kali. Mengingat hasrat bercinta si sepupu itu sangat tinggi, kemungkinan adegan memadu asmara antara keduanya bisa mencapai dua puluh empat kali dalam sehari. Hih! Nyo Teng lantas bergidik bila setiap kali membayangkan adegan cabul semacam itu.

  Ah, ia tak rela! Nyo Teng tak terima! Meski mantannya telah ditiduri orang lain, tetapi kesumat dalam batin masih bercokol sekeras tunggul ulin. Rasa bencinya bukan pada perkawinan kedua mempelai, melainkan pada kekurangajaran si sepupu. Baginya, si sepupu jelas telah melanggar etika dalam hubungan kerabat. Orang itu dengan lancang telah memonopoli pasangan hidup yang selama ini diidam-idamkannya! Nyo Teng murka!

  Sistem monopoli dalam dunia perdagangan sudah biasa, tetapi tidak dalam urusan cinta. Monopoli dalam kasus semacam ini jelas merupakan sebuah tanda, bahwa bendera perang telah dikibarkan oleh seseorang. Seseorang itu adalah sepupunya sendiri! Orang itu harus mati!

  Keesokan harinya mantan kekasihnya datang ke rumahnya. Tentu saja wanita itu datang sendiri. Mana mungkin suaminya berani menemaninya. Bukan balas salam hangat yang akan diterima si sepupu, melainkan tebasan mata parang secara membabi buta.

  "Cukup di situ," Nyo Teng berkata begitu ia membukakan pintu untuk sang mantan. Akibatnya, sang mantan hanya berani berdiri di depan garis pintu. "Pulanglah sana."

  "Aku kemari demi meminta maaf untuk segala kesalahanku."

  "Apa pentingnya buatku?"

  "Ini tidak seperti yang kaupikirkan, Sayang."

  "Aku tak mau bila harus membencimu juga. Pulanglah. Cukup sayangi suamimu. Bukan aku."

  "Semua ini karena Ibu yang rencanakan. Sungguh. Aku juga tak mau berpi ... "

  Bum! Daun pintu telah ditutup keras oleh Nyo Teng sebelum mantannya menyelesaikan kata-katanya.

  "Bodohlah!"

  Akibat kunjungan tadi, Nyo Teng semakin membenci sepupunya. Orang itu benar-benar harus diselesaikan, batinnya. Dia harus mencari cara untuk itu. Kebencian ini harus tertuntaskan, sebab bila dibiarkan lebih lama lagi, bukannya si sepupu yang mati duluan, tetapi dirinya sendiri.

  Rencana timpas, carok, sudat, tidak dapat dijadikan jalan yang mulus untuk menyelesaikan persoalan ini. Pidana pasti akan menjemputnya bahkan sebelum ia melepas senjata di tangannya. Apalagi saat ini adalah saat-saat menjelang akhir bulan. Istri-istri pejabat kepolisian pasti sedang gencar-gencarnya mengomeli suaminya masing-masing di rumah.

  Bagi Anda, warga Kotabaru, utamanya kepada Anda, para pengendara dari kota yang ingin menuju Stagen, tetapi tidak punya SIM dan takut ditilang, dipersilakan untuk mengambil jalur alternatif, yaitu jalur Gunung Ulin. Dijamin, Anda tidak akan kena razia lantas.

  Rencana berikutnya kurang lebih demikian. Jika ia nekat melewati jalan utama yang bakal mengharuskannya berurusan dengan aparat, mengapa tidak ambil jalan alternatif? Meski sedikit memakan waktu, setidaknya aman untuk dilintasi. Nyo Teng pintar. Ia terlalu pintar untuk berhenti sekarang.

  Jalan alternatif yang dimaksudnya adalah dengan pergi ke dukun. Bukan ke dukun poker, tetapi dukun santet. Ini memang keji, tetapi adakah jalan balas dendam lainnya yang lebih masuk akal dan tak berisiko? Memaafkan? Yang benar saja! Itu bukan jalan, melainkan kepasrahan! Teori konspirasi pembodohan semacam itu harusnya tak pernah tercetuskan!

  Dalam tiga hari terakhir ini Nyo Teng jadi rajin bertengger di warung-warung kopi pinggir jalan. Warung jablay dan warung remang-remang yang buka tutup tengah malam pun tak luput dari persinggahannya. Biasanya ia akan menongkrong cukup lama di sana. Ini dilakukannya bukan tanpa alasan. Ada suatu hal yang harus ia dalami terlebih dahulu sebelum beraksi.

  Informasi. Informasi seputar dunia perdukunan, apalagi persantetan takkan ia dapatkan bila ia hanya mengandalkan artikel blog yang ditulis oleh para blogger sinting yang kurang belai kasih sayang. Informasi dari artikel semacam itu tidak akurat dan kadang pengeblognya pun menulisnya hanya demi mencari cuan dalam bentuk iklan judi, obat kuat, atau ragam iklan lainnya.

  Intinya dia harus keluar rumah. Informasi yang digali langsung di lapangan jauh lebih berkualitas ketimbang informasi yang dibuat oleh seorang penulis kurang kerjaan. Ya, ke lapangan. Tiada pilihan. Tetapi, Nyo Teng keluar rumah bukan berarti ia malah berpindah masuk ke Kantor Urusan Agama. Informasi detail perihal perdukunan tidak mungkin berada di sana. Paling ujung-ujungnya ia malah bakal ditanya:

  "Mau nikah, Nyo? Mana mempelaimu?"

  Tiada tempat yang layak untuk mendapatkan informasi seputar dukun santet, kecuali di warung-warung kopi. Dalam wilayah perkotaan, warung kopi tidaklah sulit ditemukan. Di Pasar Kemakmuran, Blok B misalnya. Sedikitnya terhitung ada lima belas buah warung kopi di sana. Sebagian warung kecil-kecilan itu juga menjual nasi bungkus yang boleh disantap di tempat.

  Warung-warung kopi biasanya lebih sering dikunjungi orang ketimbang warung yang hanya menjual lem cap serigala atau sabun batangan. Para pengunjung yang datang beragam. Lelaki, wanita, anak-anak, bencong, banceng (lawan istilah bencong), pasangan normal, pasangan abnormal, dan lain-lain. Meski begitu, kalangan pria dewasalah yang lebih mendominasi.

  Tetapi, tidak semua warung kopi mendapat kunjungan yang membeludak. Beberapa warung kopi di antaranya justru mengalami sepi pelanggan disebabkan oleh dua faktor vital. Satu, cara servis penjualnya yang kurang ramah atau dua, penjualnya sudah nenek-nenek.

  Nyo Teng juga demikian. Dia selalu masuk warung kopi yang lebih ramai. Ramai berarti penjualnya cukup aduhai. Faktor kedua yang tersebut sebelumnya terbukti kurang efektif dalam menebar jaring langganan, termasuk kelas warung kopi pinggir jalanan. Itu sebab bintang iklan produk peralatan mandi di televisi lebih didominasi oleh kaum hawa yang masih segar-segar, wangi-wangi. Tujuannya untuk menarik minat pembeli. Wanita benar-benar harta dunia paling diminati manusia sepanjang masa.

  Tak jarang Nyo Teng bersinggah lama di sebuah warung kopi. Bibirnya lebih banyak terkatup ketimbang ikut mengobral suara. Tetapi, kadang ia juga tak segan menyerobot percakapan, yakni tatkala regu-regu penikmat kopi tengah membahas topik terkait dunia ilmu hitam dengan sangat mendalam dan ramai.

  "Kau kenal Ustaz Mubarak yang kencang suaranya itu?" salah seorang di antara pelanggan angkat bicara.

  "Kenal. Kenapa memang?" satu yang lain menjawab cepat.

  "Orang itu sudah mati, Bung!"

  "Mati!" seru yang lainnya bersama roman tak percaya.

  "Dini hari tadi!"

  "Hah!"

  "Apa sebab! Apa sebab!"

  "Diparang, Lui!"

  "Parang? Parang besi, maksudmu?"

  "Parangmaya!"

  "Masa iya!"

  "Kau bercanda, bukan?"

  "Kenanya pas usai salat Subuh!"

  "Itu tidak lucu, Brai!"

  "Aku juga tidak bermaksud melawak. Tetapi, itulah yang terjadi," sahut Brai, si pembawa isu.

  Nyo Teng terus menguping pembicaraan kawanan di sebelahnya dengan seksama.

  "Orang alim juga bisa kena tulah? Apa kata dunia?"

  "Alim-aliman kali?"

  "Dia haji, kau tahu?"

  "Aku tahu. Tetapi, hajinya mungkin cuma sekadar gelar. Macam SE atau SNI."

  "SNI?"

  "Susu Nini Ikam!" ¹

  "Parangmaya?" Nyo Teng lantas menyambar obrolan. "Apa itu, Pak?"

  "Anda belum tahu? Kasih tahu beliau, Brai!"

  "Memangnya situ orang mana dulu, Pak? Pendatangkah?" Brai sigap bertanya.

  "Katakan saja begitu, Pak."

  "Orang Jawa?"

  "Betul."

  "Oh! Kalau orang Jawa biasa menyebutnya santetlah, tetapi kalau di sini, utamanya bagi orang Banjar mereka menyebutnya Parangmaya."

  "Santet itu seperti guna-guna?"

  "Itu bukan santet namanya, tetapi pelet, Pak. Parangmaya itu bukan termasuk sarana alternatif demi memperoleh pesugihan atau pengasihan, namun gunanya sebagai sarana pembantaian dalam skala perorangan."

  "Dilakukan oleh seseorang?"

"Dukun ahli pastinya. Dukun ilmu hitam tingkat tinggi."

  "Berarti dukunnya adalah dukun bayaran?"

  "Tidak salah."

  "Mahal?"

  "Lumayan. Tergantung target. Saya dengar bayaran paling murah yang dapat dimaklumi si dukun yaitu sekitar dua puluh lima juta. Bayaran ekstra juga diperlukan bila target yang kojor benar-benar memang diri si target yang harus diselesaikan. Bayaran di belakang itu senilai lima hingga sepuluh juta. Tunai. Dilarang menyicil."

  "Bapak punya kenalan yang tahu tempat tinggal si dukun yang ahli parang memarang, tidak?"

  Brai cepat melirik orang di sebelahnya dengan wajah curiga. Perhatian teman-temannya serta si pelayan warung juga turut tersedot oleh pertanyaan terakhir yang diajukan Nyo Teng yang—menurut mereka—tanpa pikir panjang.

  "Apa saya salah dengar?" Brai bertanya. "Situ habis makan apa tadi, Pak?"

  "Saya hanya bertanya."

  "Punya, ya, punya, Pak. Teman. Satu. Tetapi, teman saya itu jarang nongkrong di sini, Pak. Bapak bisa temui dia di warung putrinya. Letaknya di samping King Seluler, pinggir jalan, tidak jauh dari tiang gerbang pasar. Biasa sore sekitar pukul lima warung itu sudah buka hingga tutup kembali pada pukul tiga dini hari. Sebut saja Paman Aco. Semua orang sekitar sana pasti kenal dia. Namanya sudah viral. Orangnya belum."

  Semua patut dicoba, termasuk mendatangi Paman Aco yang ditunjuk Brai. Siapa tahu orang yang akan ia temui inilah yang nantinya berhasil membuka jalan menuju pembalasan dendamnya kepada si sepupu.

  Pukul enam sore Nyo Teng datang ke lokasi yang ditentukan. Tepat di tempat seperti yang disebutkan Brai sebelumnya itulah warung itu berada. Itu hanya warung kecil dengan layanan tempat duduk berupa meja dan kursi lipat agar memudahkan pemiliknya membongkar pasang setiap saat.

  Sebelum dirinya, dua buah tempat duduk di warung itu sudah ditempati oleh dua pelanggan pria. Tampaknya keduanya sedang terlibat perbincangan yang serius. Nyo Teng pun lekas-lekas ikut bergabung.

  "Kopi hitamnya, Dik. Dua gula, satu kopi," dia memesan kepada sang pelayan yang kelihatannya masih sangat belia.

  "Inggih, Pak."

  "Tadi itu hujan, Pak, ya," Nyo Teng mulai berbasa-basi untuk memancing perhatian kedua pelanggan yang sedang berbincang di sebelahnya.

  "Ya," sahut salah seorang dari keduanya. "Tadi kami sempat urung mau buka warung ini."

  "Oh! Berarti dia ini adalah putri Anda, begitu?"

  "Betul."

  "Pak Aco?"

  "Itu saya."

  "Oh! Kebetulan, Pak! Tadi itu Brai ... "

  "Brai?"

  "Brai!"

  "Kopi sampeyan, Pak. Kuenya juga jangan lupa dicicipi, ya. Silakan."

  "Braian Senteng. Pada beberapa jam lalu orang gila itu sudah memberitahu saya. Katanya akan datang orang keturunan Jawa kemari demi dapat bertemu dengan saya. Rupanya Andakah?"

  "Betul."

  "Katanya, baginya pertanyaanmu padanya terkesan menyimpan ambisi."

  "Ambisi?" Nyo Teng kontan tertawa. "Ya, kurang lebih begitu."

  "Pasti ada sebabnya."

  "Ceritanya panjang, Pak."

  "Singkatkan."

  "Anda serius? Putri dan teman Anda juga di sini. Bagaimana kalau kita bahas itu secara empat mata di suatu tempat yang lebih aman?"

  "Bisa saja. Tetapi, apa masalah Anda masih dapat diulur lagi?"

  "Saya punya banyak waktu luang. Malam ini?"

  "Di rumah saya?"

  "Setuju. Saya akan datang pukul delapan. Kuemu saya ambil dua, Dik. Bungkus delapan, ya. Hitung semuanya."

  Takdir. Istilah ini pasti sudah tak asing lagi di telinga kalian. Biasanya istilah itu sering digunakan para penceramah saat memberikan doktrin-doktrinnya yang berkaitan dengan hidup matinya seseorang di dunia ini. Secara logika, hal demikian tidak bisa dikatakan keliru, hanya saja ruangnya terlalu sempit.

  Yang padahal takdir itu sendiri melingkup pembahasan yang lebih jauh dari tema tersebut. Lebih luas. Lebih dalam. Sebab sifat takdir di alam semesta ini, sama halnya dengan waktu. Penuh kenisbian. Ia hanya bisa maju, tetapi tidak bisa mundur. Ia bisa bergerak cepat, melambat, berubah arah, namun tidak bisa dihindari. Dan bagi sebagian orang, bahkan takdir bisa menjadi tak berarti lagi.

  Nyo Teng telah selesai dengan pikiran panjangnya. Ia merasa bahwa inilah saat baginya untuk memutuskan takdir yang telah terjadi dan membuat alur takdir yang baru. Si sepupu keparat harus menerima karmanya. Karma yang setimpal. Selain itu ia juga ingin memberi pelajaran kepada mantan kekasihnya tentang bagaimana rasanya hidup menjanda di usia muda.

  "Anda jadi datang, Pak?"

  "Tentu saja, Pak Aco. Saya Nyo Teng. Perkenalkan."

  Ternyata Nyo Teng benar-benar serius dengan rencana kejinya! Sungguh seorang pria nekat!

  "Jadi begitu, Pak Nyo? Saya mengerti sekarang," sahut Pak Aco usai mendengari cerita yang dipaparkan tamu malamnya. "Tetapi, saya bukan dukunnya."

  "Saya tahu."

  "Saya kenal orang sakti atau dukun yang dapat mengirimkan teluh kepada sepupumu yang bajingan itu. Tetapi, orang itu pasti akan meminta syarat yang tak main-main."

  "Apakah Anda sendiri tahu soal syarat-syarat tersebut?"

  "Sedikit. Apa Anda punya foto si target?"

  "Punya. Banyak. Di ponsel saya."

  "Cetak satu. Itu syarat utama selain rambut, darah, atau ludah si target."

  "Lainnya?"

  "Duit. Gaji dukun wajib dibayar dimuka. Mahal, Pak."

  "Sebut."

  "Tiga puluh juta. Tidak kurang. Lebih boleh."

  "Cek?"

  "Kontan!"

  "Uang ekstra?"

  "Nilai sebanyak itu sudah termasuk uang ekstra."

  "Oh!"

  "Satu lagi."

  "Apa?"

  "Soal dosa si calon mati, Anda yang tanggung sendiri."

  "Asal bukan utang. Tidak masalah."

  "Saya akan beritahu Anda di mana dukun itu bertinggal. Tetapi, jika terjadi sesuatu kepada diri Anda di kemudian hari, tolong, jangan pernah menyeret, menyalahkan, atau bahkan melibatkan pribadi saya."

  Keputusan Nyo Teng telah bulat. Ia akan menemui dukun itu di suatu desa terpencil yang telah diberitahukan oleh Pak Aco. Bagaimanapun juga, si sepupu harus sesegeranya dilumpuhkan atau kalau perlu dibinasakan!

  Desa yang dimaksud Pak Aco masih berada di wilayah Kotabaru. Desanya cukup jauh dari jantung kota, tidak memiliki banyak penduduk, dan tempat tinggal sang dukun juga tampak terisolasi. Nyo Teng datang ke kediaman orang sakti itu hari ini dan kabar baiknya, sang dukun sedang berada di rumah sekarang, bukan sedang mengunjungi rapat para dukun se-Asia Tenggara di Cina.

  "Permisi, Mbah," Nyo Teng mengucap salam begitu pintu dibukakan untuknya.

  "Ya. Apa hajat Anda, Pak?"

  Tidak seperti kebanyakan dukun yang tayang di TV, yang kerap menggambarkan aspek gelap kehidupan dan dinginnya sikap sang dukun. Dukun yang satu ini malah terbilang lebih ramah lingkungan, meskipun ia mengenakan pakaian serba hitam.

  "Saya ingin membunuh orang, Pak."

  "Jujur sekali! Bagus!"

  "Dan orang itu adalah ... "

  "Sepupu Anda?"

  "Benar! Canggih! Sakti!" Nyo Teng kontan terkesiap! "Bagaimana Mbah bisa tahu? Apakah saya membawa aura kematian orang itu?"

  "Pak Aco tadi malam telepon saya."

  "Walah!"

  "Bawa uangnya, tidak?"

  "Bawa, Mbah."

  "Tiga puluh juta?"

  "Pak Aco juga yang memberi tahu?"

  "Tidak. Mata saya mampu membedakan antara uang bergambar parang dengan peci."

  "Cih! Ini uangnya, Mbah. Lalu ini fotonya."

  "Jadi, apa rencana Anda?"

  "Binasakan saja!"

  "Pilih satu. Santet, Wisa, atau Parangmaya?"

  "Parangmaya!"

  "Cepat atau lambat?"

  "Maksud Mbah?"

  "Ini orang menurutmu mau dibuat mati mendadak atau mati perlahan?"

  "Lebih cepat, lebih baik."

  "Kalau begitu tidak ada kepuasan."

  "Diperlambat sedikit."

  "Berapa jam?"

  "Maksimal?"

  "Tiga jam."

  "Sepakat. Lakukan itu, Mbah. Biar orang itu tahu rasa!"

  "Sekarang Anda boleh pulang. Saya akan urus musuh Anda malam ini."

  Jam sepuluh malam barulah Nyo Teng tiba di rumah. Perjalanan ke desa tadi benar-benar menguras tenaga dan waktu. Andai bukan karena sebuah alasan penting, ia takkan pernah pergi ke sana.

  Tetapi, bagaimanapun juga, keberangkatannya ke desa itu selalu saja membuatnya sangat gembira. Gembira karena besok ia akan mendengar kabar kematian si sepupu yang kurang ajar itu.

  Parangmaya bukanlah sembarang santet. Parang gaib yang melesat di antara medium udara itu dapat menempuh jarak sejauh lima ratus kilometer per detik. Kejahatannya juga melebihi jahatnya radiasi ultraviolet. Ilmu hitam asal Kalimantan itu hampir tiada tandingnya. Sekali kena, 99,99 persen si target pasti akan mati. Hanya terkena ujung parangnya saja, itu sudah cukup membunuh seekor gajah dewasa. Pertanyaannya, bagaimana kalau sihir itu sampai menyerang manusia?

  Nyo Teng telah selesai dengan acara mandi dan makan malamnya. Ia sudah hendak masuk ke kamar tidur sebelum akhirnya pintu rumahnya diketuk seseorang.

  "Ada apa, Pak Sigit? Tumben," sambutnya kepada sang tamu. "Masuk, Pak."

  "Tidak. Terima kasih. Saya mengetuk karena harus menyampaikan pesan dari sepupu Anda, Pak Nyo."

  Hah!

  "Sepupu saya yang mana, Pak Sigit?"

  "Sepupu Anda yang baru kawin itu."

  "Alimin? Kenapa dengannya?"

  "Tidak. Tadi siang dia datang kemari. Berkali-kali, Pak, bahkan sampai sore. Aneh sekali."

  "Lalu?"

  "Awalnya pada sekali dua kedatangannya saya hanya berperan sebagai pengintai dari pagar jendela kamar saya, tetapi hingga kunjungannya yang ke berikutnya saya jadi merasa iba. Sebab, dia selalu datang dengan muka murung seolah sedang menahan tangis."

  "Apa maksud Anda, Pak Sigit. Saya tidak mengerti."

  "Sepertinya sepupu Anda itu sedang dirundung masalah yang amat berat. Itu sebabnya saya pun memberanikan diri menegurnya."

  "'Bapak cari Pak Nyo, ya?' saya bertanya."

  "'Iya, Pak,' jawabnya. 'Saya Alimin. Sepupu sekali dia. Tetapi orang itu pada ke mana, ya? Saya telepon juga tidak angkat. Pesan saya juga tidak dibalas-balas. Padahal ini masalah urgen.'"

  "'Ya. Tadi pagi saya lihat Pak Nyo pergi dengan mobilnya. Tidak seperti biasa hanya membonceng sepeda motor. Mungkin dia pergi ke tempat yang cukup jauh.'"

  "'Begitukah? Astaga! Matilah aku!'"

  "'Memangnya sebetapa urgen masalah Anda, Pak.'"

  "'Sangat urgen! Bahkan tidak bisa diwakilkan!'"

  "'Kalau begitu saya tak bisa membantu? Sayang sekali, ya.'"

  "'Bisa, Pak. Tolong, kalau penghuni rumah ini sudah datang, beritahu dia untuk menghubungi saya atau kalau perlu langsung temui saya di rumah. Tolong, Pak, ya. Aduh, omah gedhe kaya iki ora ana wong. Edan tenan!²'"

  Nyo Teng mulai tampak berpikir. Hanya sesaat, hingga akhirnya dia langsung berlari ke kamar tanpa menghiraukan sang tamu yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. Secepat kemudian dia pun lantas keluar lagi bersama ponsel di tangannya. Suara latar ponsel yang baru dihidupkan telah terdengar, lalu disusul pula oleh dentingan-dentingan suara lainnya yang menandakan ponsel di tangannya telah dikirimi banyak notifikasi dari seseorang.

  "Astaga!" Nyo Teng spontan menjerit! "Apa yang telah ... "

  Rupanya ia sedang membaca sebuah pesan yang terterima. Nama si pengirim tertera jelas sebagai Alimin Berengsek. Waktu terkirimnya pesan tersebut, yaitu pada pukul 17.55.

  "Kak Nyo, sepertinya kau sedang pergi. Maafkan aku, Kak. Aku sungguh telah melukai perasaanmu. Aku baru tahu kalau Diana telah bertunangan denganmu. Dan payahnya, Diana baru menceritakannya padaku tadi pagi. Aku benar-benar telah melakukan kesalahan besar. Aku akan ceraikan Diana secepatnya, karena aku tak mau bila sampai membuatmu menaruh sakit hati padaku. Kita berkeluarga, Kak. Aku juga sudah sering membebanimu dengan masalah ini dan itu. Cukup. Aku tak mau menambah bebanmu lagi dengan hidup bersama orang yang kausayangi. Maafkan aku. Aku ingin kita dapat menyelesaikan masalah ini secara baik-baik. Aku ingin bicara denganmu, Kak, tanpa gangguan dari siapa pun. Mohon balasannya."

  "Pak Nyo!" seru sang tamu begitu melihat sang empu berdiri tanpa kestabilan. "Ada apa, Pak?"

  Roman Nyo Teng telah memucat dalam hitungan detik. "Ini kesalahan!" dia berteriak histeris! "Ini hanya kesalahpahaman! Aku harus hentikan ini! Oh, tidak!"

  Seruan kekalahan yang terakhir, yang keluar dari mulut pria itu tertuju tepat kepada sebuah ambulans yang melintas cepat di jalanan depan rumahnya sambil meraung-raungkan sirene dengan gaungan yang amat mendesak.

  "Oh, tidak! Jangan sekarang!" sekali lagi Nyo Teng memekik tak sabar. "Saya harus pergi, Pak!"

  Sesaat waktu kemudian dia sudah berada di atas motornya. Sang tamu benar-benar dibuat bingung oleh tingkah laku aneh si pemilik rumah.

  "Anda mau ke mana lagi, Pak?"

  "Mengurus masalah yang lebih urgen! Permisi!"

  Tanpa menunggu waktu lagi Nyo Teng langsung tancap gas, menerabas malam yang semakin larut dan dingin. Pesan dari sang sepupu yang telah ia baca jelas ingin memberitahu padanya bahwa semua kejadian yang mereka alami hanyalah sebuah kesalahpahaman. Pada perspektif dirinya memang menderita sakit di hati, tetapi selama ini sang sepupu rupanya juga belum mengetahui hubungan cinta lama antara istrinya dengan saudara sepupunya.

  Maka bagaimanapun jalannya, hal ini harus Nyo Teng selesaikan secepatnya. Lagipula dirinya juga sudah telanjur membayar sang dukun untuk menghabisi nyawa Alimin. Ia belum tahu, apakah ritual pemarangan itu belum, sedang, ataukah sudah dilaksanakan sang dukun. Intinya, ia hanya dapat melihat hasilnya nanti. Aduhai, mengapa kenyataan selalu antre paling belakang?

  Nyo Teng terpaksa memperlambat laju kendaraannya sekitar lima puluh meter dari tempat yang ia tuju, sebab sekitar kediaman itu sudah dipenuhi oleh kerumunan warga. Ia terpaksa memarkir motornya agak jauh, lalu berjalan mendekati kerumunan. Pemandangan ini tentu membuatnya semakin gelisah. Dari yang tadi hanya berjalan, ia lantas berlari demi secepatnya sampai ke titik kerumunan massa.

  "Pak Nyo!" seru seseorang secepat hadir dirinya di tengah padat manusia. "Beri jalan! Woi, woi! Beri jalan!"

  Pria itu tidak lagi fokus mendengarkan teriakan-teriakan senada di sekitar tempat itu. Yang ia perhatikan hanya terantuk ke sebuah mobil ambulans yang terparkir tepat di pinggir jalan depan rumah sepupunya. Melihat mobil itu, hatinya semakin tak keruan. Ia menjadi yakin bahwa kedatangannya saat ini sudah terlambat.

  Jalan baginya telah terbuka. Kerumunan warga sama-sama memandang ke arahnya dengan roman sedih pertanda belasungkawa. Wajah Nyo Teng mulai memucat. Lalu, ketika dirinya sudah bertemu dengan sang sepupu, kakinya pun langsung tersimpuh dan tangisnya pecah seketika di depan seonggok tubuh manusia yang tak lagi mampu bergerak. Sang sepupu, Alimin sudah tak bisa menyambut kedatangannya.

Selesai.

__

¹ Susu nenekmu.

² [lit: Bahasa Jawa] Aduh. Rumah besar begini tidak ada orang. Edan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Horor/Baur

Cerpen Horor/Baur 2

Cerpen Horor/Baur 2