Cerpen Horor/Baur


Baur: Kilat

Kategori: Cerpen

Prioritas: Di Atas 15 Tahun


  Dia selalu merasa heran dengan dunia ini. Selama ini dia merasa hanya hidup sebatang kara di bumi ini. Tidak punya orangtua, sanak saudara, teman sebaya, apalagi musuh bebuyutan sepanjang masa.


  Yang ia tahu hanya yang terlihat di depan mata. Ia tak pernah tahu apa yang sedang berlangsung di belakangnya. Dan, seringkali ia malah tak tahu apa akan hal-hal yang kemungkinan tengah terjadi di sekitarnya.


  Ini fenomena aneh yang sudah lama menyelimutinya. Ia merasa bahwa dirinya hidup dalam lingkup dunia delusi, atau mungkin sihir, atau bisa saja pemikirannya sedang mempermainkan dirinya. Ataukah, mungkin karena dia terlalu cerdas? Ataukah semua ini memang sebuah kenyataan?


  Pagi ini, seperti pagi sebelumnya, ia juga berkunjung ke Pasar Kemakmuran. Sebelum berangkat, kemunculannya di depan pintu sudah disapa hangat oleh Pak Irai. Tetangganya. Pria tua itu kelihatannya sedang sibuk menyirami tanaman bonsai di pekarangan depannya.


  "Ke pasar, Cu?" tegurnya.


  "Ke pasar, Pak."


  "Silakan. Hati-hati korona, ya."


  "Hati-hati di jalan!"


  Cahaya matahari nan sejuk membentang lebar dan luas di hadapannya. Lantas seperti biasa, orang-orang di pasar yang mengenalnya, yang akan terlintasi olehnya dengan segera menengur sapanya. Maka, sebagai manusia normal, ia pun membalas sapaan itu dengan sapaan balik yang lebih halus dan ramah. Namun, setiap kali ia telah melewati orang-orang itu, entah mengapa, dua elemen penunjang gerak alam di belakangnya kontan berhenti seketika. Ruang menjadi gelap, sementara waktu mati dengan sendirinya. Segala kegiatan masyarakat yang telah dipunggunginya sudah tidak aktif lagi.


  Uniknya, fenomena itu hanya terjadi ketika dirinya terlengahkan oleh kegiatan aktif warga di depannya. Sehingga ketika dia terpaksa menoleh ke belakang lagi karena merasa telah terjadi sesuatu yang janggal, situasi alam di balik punggungnya tadi spontan kembali hidup. Aktifitas warga kembali normal. Ia pun mendesah lega karena nyatanya ia tak mendapati keanehan yang terjadi usai ia melewati tempat sebelumnya, yang padahal tanpa ia sadari ruang dan waktu yang baru ia lepaskan saat ini langsung mengalami kematian total.


  Sedikitnya ia sendiri juga menyadari fenomena aneh yang tengah dialaminya sekarang ini. Fenomena ini sangat, sangat, sangat mengganggunya. Ia berpikir bahwa keberadaan dirinya di suatu tempatlah yang memicu kejadian alam ini.


  Setahunya, ruang dan waktu semestinya berjalan secara permanen dan konsisten demi kelangsungan kehidupan di alam empat dimensi ini. Jika tidak, dunia akan mengalami peristiwa anomali yang tak lazim. Setiap gerak menjadi tidak independen, acak, dan saling tumpang tindih.


  "Apa yang kaubicarakan, Bung?" sahut Asa, teman karibnya yang bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket.


  "Kau belum paham dengan apa yang sudah kuceritakan tadi?"


  "Bukannya belum paham, tetapi semua itu mustahil, Kawan."


  "Hah? Coba bicara lebih nyaring, Bung!"


  "Itu mustahil!"


  "Namun, aku sedang mengalaminya."


  "Tidak. Itu hanya imajinasimu. Biar kutanya. Sekarang di depanmu waktu sedang siang atau malam?"


  "Siang."


  "Begitu? Harusnya orang-orang yang sedang mengantre belanja di belakangmu itu berada di ruang yang gelap dengan waktu terdiam total?"


  "Benar."


  "Omong-omong, orang-orang di belakangmu itu terus bergerak sejak tadi, Kawan."


  "Buat aku percaya."


  "Bu, coba Anda tepuk bahu orang ini supaya gilanya luntur! Tolong!"


  Dia pun menunggu momen tepukan dari orang di belakangnya, sementara ibu-ibu yang diminta sudah mengangkat tangannya. Namun, belum sempat wanita itu mendaratkan tangannya ke bahu orang di depannya, tiba-tiba ...


  "Astaga! Ponselku! Mana ponselku!"


  Wanita itu tentu saja terkejut! Secepat teriakan itu datang dari orang di depannya, secepat itu pula orang tersebut telah berlari, lantas menghilang di balik pintu minimarket dalam sekejap!


  "Buru-buru sekali? Dia temanmu?"


  "Ya, Bu. Biasa. Dia memang suka lupa. Ini belanjaan Anda? Mari kita berhitung!"


  Ia kini dalam perjalanan pulang. Tanpa mau menoleh ke belakang lagi. Ia sengaja tak mengacuhkan fenomena ini karena berpikir bahwa ruang dan waktu hanya ingin mempermainkannya. Ia tidak mau disalahkan hanya karena terhambatnya kelajuan gerak dunia.


  Di tengah perjalanan, entah mengapa, ia bertemu dengan seorang mandor bangunan yang sedang mengawasi kelima pekerjanya di lapangan. Pemandangan itu sangat menarik perhatiannya sehingga ia memutuskan untuk berdiri sebentar di tempat yang tak jauh dari lokasi itu.


  Sejauh pengamatannya, sang mandor tampaknya adalah orang yang serius dan berpengalaman di bidang struktur bangunan, sementara anak-anak buahnya adalah sekelompok pekerja bujangan yang lamban, amatir, dan masih suka bersantai. Keanehan pun terjadi di dalam ruang waktu kerja mereka karena adanya ketidaksinambungan gerak serta sifat karakter antartokoh di sana.


  Yaitu ketika sebuah panggilan telepon tiba-tiba masuk ke ponsel sang mandor. Akibatnya, sang mandor pun terpaksa menghentikan pengawasannya dan lebih memilih menjawab panggilan ponselnya. Lantas, di saat sang mandor telah berpaling, di saat itu pula tabiat asli para pekerjanya muncul. Mereka yang tadinya amat rajin, sekarang berani mulai bersantai sambil melempar obrolan atau candaan ketimbang menuntaskan pekerjaannya. Sebagai pengamat, hal ini tentu saja membuatnya tersenyum geli.


  Sepuluh menit kemudian dia sudah sampai di depan rumahnya. Di sini, ia kembali bertemu Pak Irai yang ternyata masih saja sibuk menyirami tanaman bonsai miliknya. Pemandangan terbaru ini tentu saja membuatnya terheran-heran. Padahal rentang waktu sejak kepergiannya tadi sudah sekitar tiga puluh menit berlalu.


  "Belum kelar, Pak?" dia terpaksa menegur orang tua itu.


  "Iya. Tadi, keran air saya mati mendadak. Makanya ini ndak kelar-kelar."


  "Oh. Saya pikir Bapak kena dilatasi."


  "Gila nasi?"


  "Dilatasi!"


  Kesal bicara dengan orang tua yang sudah agak budek itu, ia pun langsung menutup pintu rumahnya.


  "Dasar rongsokan!" katanya geram seraya berjalan masuk ke dapur. "Ah, apalah dunia ini?"


  Malam sesungguhnya telah tiba. Sekarang jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul sembilan. Payah sekali dia. Waktu kini terasa berlalu cepat. Masa cutinya hari ini habis begitu saja hanya untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya yang telah menumpuk dalam seminggu terakhir. Belum lagi ia juga harus memperbaiki atap dapurnya yang bocor setiap hujan deras mengguyur. Tetapi, untungnya semua pekerjaan itu sudah tertuntaskan.


  Sekarang giliran ia mengambil waktu santai. Keripik singkong telah tersedia. Teh hangat sudah di atas meja. Televisi telah dinyalakan. Persiapan selesai. Ia lantas duduk di sofa panjangnya dengan nyaman.


  "Aku tak bisa hidup tanpamu ... "


  "Sinetron! Logis apa gila, hah!" dia menyerapah seraya langsung memindah kanal siaran dengan remote kontrol.


  "Itulah yang dikatakan oleh kakek dari kakek dari kakek, kakek, kakek, kakekku ... "


  "Alah!"


  "Harusnya kautahu bahwa cintaku lebih darinya ... "


  "Mau perangkah!"


  "Kita harus bicarakan masalah ini bersama Gusti Prabu Angling ... "


  "Rambo kau!"


  "Kabar hari ini, Pemirsa!"


  "Nah, ini!"


  "Baru saja terjadi kecelakaan beruntun ekstrem di sepanjang Jalan Jenderal Ahmad Yani, Surabaya. Kecelakaan beruntun itu melibatkan delapan puluh orang pengendara motor dan tujuh puluh buah mobil. Kemacetan pun terjadi mencapai jarak sejauh lima kilometer. Untungnya, tidak ada korban jiwa dalam insiden yang amat nahas ini."


  "Kalian bercanda!"


  Bosan dengan acara TV yang tidak menarik, ia lalu beranjak keluar rumah, kemudian memilih duduk di teras. Hawa dingin pun dengan cepat menyergap tubuhnya yang kurus. Untuk sejenak ia jadi terlarut dalam lamunannya sendiri.


  Hukum dasar fisika mengatakan bahwa setiap materi yang hidup pasti bergerak meskipun tanpa diawasi oleh si pengamat. Lebih jauh bahwa setiap materi tak bernyawa namun telah diberi gaya yang cukup maka materi tersebut juga akan mengalami pergerakan yang sama besarnya dengan jumlah gaya yang diberikan. Ini menurut Hukum Newton yang kedua.


  Lebih jauh lagi! Setiap gaya bisa dikatakan sebagai aksi, sedangkan setiap pergerakan dapat diasumsikan sebagai reaksi. Aksi juga bisa dikatakan sebagai sebab, sementara reaksi adalah akibat yang ditimbulkan oleh adanya aksi tadi. Hukum ketiga Newton secara sukses dapat dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan, tetapi bagaimana dengan fenomena yang tengah dialaminya saat ini? Apakah hukum-hukum gerak dinamika mampu menjelaskan situasi semacam ini? Tidak. Bahkan teori lanjutannya semacam teori relativitas pun tidak akan mungkin dapat menjabarkan masalah anomali yang tengah ia hadapi.


  Ia lalu menatap ke bulan yang tengah beraksi jauh di atas kepalanya. Cahayanya yang benderang jatuh menimpa wajah sang penatap yang kelihatannya semakin memuram durja.


  "Apakah bulan itu akan tetap bergerak dan tenggelam meskipun aku tak mengawasinya?"

Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Horor/Baur

Cerpen Horor/Baur 2

Cerpen Horor/Baur 2