Cerpen Kehidupan


JANUR: CARI KERJA

Kategori: Cerpen

Prioritas: Di Atas 15 Tahun



  Sudah hampir setengah bulan lamanya aku dan Gaplek berkeliling kota ini guna mendapatkan pekerjaan. Sepanjang jalan kami terus bersama. Toko demi toko kami mampiri, berharap sang pemilik toko bersedia menerima kami berdua sebagai anak buahnya. Dari banyak toko yang kami singgahi, ternyata ada juga beberapa toko yang sempat menyukai kami, hanya saja cuma salah satu dari kami saja yang boleh diterima. Bisa aku, bisa juga Gaplek. Tetapi, baik aku mau pun Gaplek sama-sama menjunjung tinggi nilai persahabatan kami. Aku diterima, tapi Gaplek tidak, aku memilih mundur. Begitu pun sebaliknya. Tiga puluh hingga lima puluh ribu gaji per hari sungguh tak ada nilainya dibanding harga pertemanan yang telah lebih lama kami rajut.


  Kami berangkat cari kerjaan tiap sepulang sekolah. Bila hari Minggu, kami akan berangkat pagi-pagi sekali. Ini murni atas inisiatif kami sendiri. Kami berencana, uang kerja keras yang kami dapatkan bisa kami pergunakan untuk meraih mimpi kami, sekaligus untuk membantu keuangan orangtua kami. Dapat sepuluh atau dua puluh ribu itu lumayan. Setidaknya kami tidak lagi menadahi orangtua kami yang makin hari makin kepayahan membanting tulang.

  Ibuku, sebenarnya tidak setuju atas keinginanku ini. Kata beliau, aku ini masih terlalu dini untuk mengenal duit. Beliau takut bila-bila aku jadi bosan sekolah setelah tahu artinya uang, yang hingga akhirnya malah membuatku berniat putus sekolah dan memilih cari uang saja. Aku pun menjawabnya dengan halus, bahwa aku takkan pernah berhenti sekolah apapun yang terjadi. Walaupun, andaikan gajiku satu milyar sebulan, aku akan tetap meneruskan sekolahku.

  "Percuma punya uang bila tak punya ilmu. Habis," begitulah jawabanku. Ibuku pun mulai mengerti. "Selain itu aku juga punya mimpi besar, Bu. Aku mau ke Jepang. Ibu bilang, Jepang bukan diperuntukkan bagi orang pemalas. Aku ingin belajar kerja agar aku tahu arti banting tulang yang sebenarnya dan agar aku juga tahu bagaimana rasa deritanya."

  Hingga pada hari ke lima belas, kami belum jua melihat hasil dari pencarian kami. Aku berani bersumpah, bahwa tak ada satu pun toko yang kami lewati yang tidak kami masuki. Semuanya terkunjungi dan selalu kami tanyai apakah ada lowongan yang bisa menampung dua anak gelandangan sekaligus. Bayangkan, sekarang sudah lima belas hari, berarti sudah lima belas kali seluruh toko di kota ini yang telah kami kunjungi. Tiap hari, kami selalu memulai pencarian dari toko besi di Stagen, lanjut ke kota melewati Toko Varia, Herson, Optik, dan Rumah Makan Padang, sampai Tangsi Polisi Baharu, belok kiri menuju Siring Laut. Lalu belok kiri lagi melewati Rumah Makan Sridewi, Toko Tiga Roda, lalu ke kiri lagi menuju Rumah Makan Sri khas pecel. Kemudian, belok kanan berkali-kali, hingga tiba di Jl. Singabana, di Toko DNA Computer, Fotokopi Eka, beberapa toko elektronik seperti Subur Mulia, Bintang Baru, Gunung Sejati, semuanya tidak terlewati. Sampai depan lampu merah pasar, belok kanan menuju Jl. Pattrimura dekat Limbur Raya, kami singgah lagi deretan toko yang ada di sana, seperti Toko Sinar Terang, toko gitar, Sumber Abadi, Toko Obat Robert Candra, lalu menyeberang jembatan kuning dan tibalah kami di Pasar Kemakmuran.

  Di dalam pasar itu kami berkeliling lagi menyinggahi toko-toko berhamburan di sana. Tak peduli toko itu khusus jualan apa. Toko jualan kepiting pun nekat kami masuki, karena saking inginnya dapat uang. Bahkan kami tidak sungkan bertanya lowongan pada ibu-ibu yang sedang sibuk menguliti bawang di samping gerbang Pelabuhan KV-05. Aku selalu mengandalkan kata bijak sahabatku, Gaplek. 'Siapa tahu ada rezeki kita di sana'.


  "Apa mimpimu untuk pergi ke Jepang telah hilang," tanya Gaplek padaku. Aku ingat sekali, pertanyaannya itu diluncurkannya padaku pada hari ke tujuh belas masa cari kerja. Saat itu sudah sore, menjelang Maghrib. Kami duduk di depan pintu salah satu toko Cina depan Limbur Raya.

  "Tidak," jawabku. "Sampai kapan pun," tambahku sembari menatap wajah temanku yang basah oleh keringat.

  "Kuharap kau tetap menggenggam mimpimu itu. Jadi atau tidaknya kau pergi ke Jepang, itu masalah lain. Yang penting sekarang kau bermimpi saja dulu."

  Aku tersenyum mendengarnya. "Apa mimpimu?" tanyaku setelah diam selama beberapa saat.

  "Mimpiku tidak berlebihan seperti mimpimu," jawabnya setengah mengejek. "Mimpiku hanya satu, tapi berlapis-lapis."

  "Usah kaututup-tutupi lagi. Aku sudah berhak mengetahuinya karena aku sudah menemanimu mencari mata uang."

  Dia terbahak. "Ya, kau memang harus tahu. Setidaknya kau bisa memprotesku bila nanti terdapat penyimpangan di alur-alur mimpiku," katanya. Aku memberi isyarat pada sahabatku itu untuk memulai. "Mimpi pertamaku adalah mendapatkan pekerjaan. Aku dan kau. Saat ini kita sedang berusaha mewujudkannya."

  "Kita pasti akan mewujudkannya."

  Dia mengangguk. "Selanjutnya, setelah mimpi itu tercapai, aku akan mulai menabung uang. Lalu, bila sudah terkumpul sampai sepuluh juta, aku akan membeli motor bekas seharga dua jutaan, tiga juta untuk melamar Sekuntum, sedangkan sisanya untuk biaya bulan madu ke Pagatan."


  "Melamar gadis hanya pakai duit tiga juta! Jangan bercanda, Plek!" seruku tak percaya.

  "Aku sudah merundingkan hal itu langsung sama bapaknya, Nur," jawab Gaplek santai. Lantas, ia pun tertawa menang.

  "Biaya pernikahan biasanya memakan dana paling kurang sepuluh juta agar kesan meriahnya dapat. Kalau cuma tiga juta, takkan ada dangdutnya."

  "Memang rencananya tak perlu ada dangdut-dangdutan. Pasangan yang lain boleh saja pakai dangdutan, kalau perlu penyanyinya disuruh pakai bikini saja. Kalau aku, tidak juga tak apa. Aku sudah cukup sering mendengar suara Caca Handika di ponselku."

  "Kira-kira, pada umur berapa kau akan menikah?"

  "Aku belum menentukannya. Sekarang umurku sudah tujuh belas. Ya, mungkin target hari pernikahanku nanti, yaitu pada saat aku sudah berusia dua lima. Kalau bisa, jangan lebih dari itu."

  "Kurasa, Sekuntum takkan sanggup bertahan hingga selama itu."

  "Bisa, tidak bisa, bakal kupaksa!"

  "Bagaimana kalau ternyata dia harus dijodohkan dengan pria lain dengan alasan keterlambatanmu itu?" aku iseng bertanya.

  "Kalau itu yang akan terjadi, berarti aku tak punya pilihan lain selain terlebih dahulu memperkosanya!" jawabannya itu tentu saja membuatku terkejut setengah mati.

  "Oi! Kau sudah gila apa! Itu egois namanya, Plek!" tegurku sengit. "Kau memang seorang lelaki yang bisa melakukan apa saja sesuka hati. Tapi, beda ceritanya bila kau tengah berhadapan dengan seorang wanita."

  Gaplek terbahak. "Aku tak sebodoh itu, Bung," Gaplek menepis. "Mana mungkin aku tega melakukan hal yang nantinya pasti akan membuat hati Sekuntum terluka? Aku masih waras. Kewarasanku akan selalu melindungiku dari godaan soitonirrajim. Allahu akbar!"

  Masa pencarian kerja telah sampai di ujung hari ke dua puluh lima. Kami yang masih menyandang status sebagai pelajar ini tengah mengalami kesulitan besar. Prosesnya terasa sangat mustahil. Kami pun menyadarinya. Mencari kerja tanpa modal apapun sangatlah sulit. Tidak ada ijazah, tidak ada surat kesehatan, tidak ada surat bebas tahanan, tidak ada. Tidak ada sama sekali. Yang kami modalkan hanyalah sepuluh jari dan sesuatu yang menggantung dalam celana kami. Mau tidak mau, kami terpaksa selalu menjaga jarak dari ruko perkantoran.

  Masa-masa mencari mata pencaharian benar-benar tidak mudah. Kami yakin, selain kami, saat ini pasti juga ada orang lain yang senasib dengan kami. Entah itu di mana. Tapi, jumlahnya pastilah banyak. Kebetapasusahnya itulah yang mungkin menjadi penyebab tetanggaku, Makanja Lade, berhenti mencari kerja dan memutuskan menjadi seorang penulis di blog. Wajar saja. Dia itu manusia dari bangsa pemalas. Sifat anak itu tidak pantas ditiru.

  Aku dan Gaplek terus-menerus berkeliling kota ini. Bayangkan, setiap hari kami harus pulang pergi Stagen ke kota hanya dengan jalan kaki. Jarak antara keduanya itu tidaklah dekat. Tujuh kilo! Dan setiap hari pula toko-toko Cina yang sudah kami datangi sebelumnya kembali kami kunjungi walau hanya sekadar bertanya ketersediaan lowongan. Saking niatnya kami, orang-orang toko pun sampai mampu mengenali kami.

  Di kali pertama, memang kedatangan kami disambut acuh, baik itu oleh bos-bosnya, mau pun oleh anak-anak buah mereka. Tetapi lama-lama mereka mulai menyegani kami. Keteguhan tekad kamilah yang meluluhkan hati mereka. Banyak sekali di antara mereka yang meluapkan empatinya dengan menanyai kami tentang sudah terlihatkah bayangan kerja untuk kami di tempat lain. Rasanya benar-benar luar biasa! Dan yang paling membuat aku pribadi senang, yaitu bila tiba giliran toko Toys City yang harus kami kunjungi. Rasanya bunga-bunga di hati ini langsung terbang ke angkasa, lalu berjatuhan di atas kepalaku bila setibanya kami di depan pintu ruko itu. Tiga orang gadis karyawan di toko itu pasti akan tersenyum gembira menyambut kami dan tak lupa pula mereka akan menyapa kami dengan kata 'hai'. Bagiku sapaan mereka itu terasa memukau. Walaupun sapaan mereka bukan tertuju padaku seorang, melainkan, mungkin, lebih cenderung kepada rekanku yang memang lebih macho dariku. Dan begitu kami keluar dari toko itu, kami pun mulai terbahak dengan bangga.

  "Aku pilih yang kecil saja," ujarku. Kami dengan cepat menutup muka ketika sekelebat debu menyerbu kami dari depan.

  "Nika?" tanya Gaplek. Ia terbatuk. Rupanya ada debu yang sempat terhirup olehnya.

  "Iya, dia."

  "Ah, gadis itu bagianku, Nur. Aku sanggup melepas Sekuntum hari ini juga asalkan dia positif menerimaku."

  "Kalau begitu aku pilih Ghea. Gadis tinggi itu sangat ideal jadi ibu rumah tangga."

  "Dia bisa jadi istri keduaku."

  Aku cemberut karena kesal. Maunya dia terus saja. "Ya, kauambil saja dua-duanya. Aku cukup Mammi saja. Dia sangat rajin dan lebih ramah perangai."


  "Aku sanggup hidup tanpa Sekuntum dan dua gadis lainnya. Asalkan demi Mammi."

  "Rakus amat kau ini, Plek!" kataku sengit. "Cukup Sekuntum saja belum tentu mampu kau keluar dalam sehari!"

  "Barangku tidak seloyo itu, Nur. Benda pusakaku ini bisa muntah ratusan kali sehari."

  "Dasar kau anak Ifrit!"

  Gaplek mengakak. Candaan seperti ini sangat membantu kami untuk melupakan sejenak segala keluh kesah kami. Walau terkadang kami saling mengumpat di sela-sela tawa, namun semua itu sangat renyah terasa. Kami berusaha sebisa mungkin agar tidak frustasi saat menghadapi ujian berat ini. Bocah ingusan kelas dua SMA seperti kami memang seharusnya membawa diri dengan santai. Jangan sampai pikulan di hati menjadi beban yang malah membuat kami gila dini. Kami terus mencoba agar tetap kuat menjalani takdir ini. Kami yakin, pintu mimpi besar tengah menunggu di ujung jalan takdir kami.

  Sekarang adalah hari kedua puluh enam kami. Kemarin kami gagal lagi. Mata pancing yang kami sebar di sepenjuru kota tidak ada satu pun ikan yang mematuknya. Nelangsa, iya nelangsa. Tapi, apa mau dikata. Mengubah nasib tidak semudah onani, yang tinggal khayal, kocok, keluar, beres. Mau punya nasib baik itu tak bisa dipaksakan. Maksudku, bisa saja. Tapi, jalan yang harus ditempuh pastinya beda. Agak menyalahi aturan alam. Jadi pencuri, misalnya. Atau jadi penipu, koruptor, pembegal, atau lainnya. Tapi, awas! Kalau sampai disapa polisi, bakal hancur badan di jeruji besi.

  Kami memilih jalan yang benar saja. Supaya tidak menemui masalah di kemudian hari. Kalau sampai diri masuk sel, dihajar sampai putus jantung pun harus tetap tertawa. Di hadapan polisi, posisi diri akan selalu disalahkan. Tertawa, kita dianggap masih kuat. Hajar lagi. Menangis, dianggap pura-pura. Tambah bonyok lagi. Diri jadi salah terus saja. Aku mengetahuinya dari cerita seorang temanku yang pernah masuk penjara. Mungkin aku akan menceritakannya. Tapi, nantilah.

  "Kita ini benar-benar seperti anjing jalanan," Gaplek berkata di tengah penyisiran kota. Aku tidak tahu apakah dia sedang mengeluh atau sekadar curhat saja. Sebab, dari langkahnya, kulihat dia masih sesemangat kemarin-kemarin.

  "Anak jalanan, Bung."

  "Anak jalanan itu geng motor. Kita ini anjing jalanan."

  "Kita terlantar?"

"Kita terlantar," jawab Gaplek. "Kita ditelantarkan oleh kota ini. Kita dibuang."

  "Siapa yang akan memungut kita?"

  Gaplek terdiam sejenak, lalu, "Diri kita sendiri, Nur," jawabnya. "Mungkin itu lantaran tangan kita pendek. Tidak sepanjang tangannya bangsa koruptor tolol yang masih bisa tertawa di balik seragam putihnya. Andainya kita sepercaya diri mereka, mungkin kita juga bisa melesat cepat sampai ke tujuan kita. Tetapi, sekali lagi. Tangan kita pendek. Kita tidak punya keberanian macam mereka. Aku lebih senang jadi anjing jalanan seperti ini. Biar diriku sendiri yang akan memungut diriku sendiri. Aku akan berjuang sendiri agar bisa melamar Sekuntum! Allahu akbar!"

  Di saat-saat seperti inilah akan mulai bermunculan kegamangan di hati. Proses cari kerja itu sangatlah pahit. Bahkan lebih pahit lagi daripada meminum empedu yang dilarutkan ke secangkir air laut. Dan detik ini kami telah mengalaminya. Seperti yang dikatakan Gaplek tadi, kami telah diacuhkan kota kami sendiri. Bayangkan, betapa besarnya Kotabaru ini, tapi tak ada satu pun lowongan yang kami dapatkan, padahal hari dan minggu kami telah hampir ditelan bulan. Ini sungguh memilukan. Aku hampir saja mengutuk kota ini, jika saja aku tak melihat semangat hidup yang dimiliki sahabatku. Kepercayaan dirinya telah merontokkan kekesalanku pada kotaku sendiri. Andai sekarang ada bupati lewat di depanku, mungkin aku ingin menjabat tangannya sebagai tanda permintaan maafku yang telah berani mencela kota yang selalu dipikirkannya.

  Satu hari berlalu lagi dengan kehampaan. Masa cari kerja sudah menjajaki hari ke dua puluh tujuh. Tiga hari lagi usia kami akan bertambah sebulan dengan nasib penuh kesia-siaan. Sapaan 'hai' dari gadis-gadis Toys City tidak lagi berharga setiap senja merundung langit barat. Bila azan Maghrib telah dikumandangkan, mulailah kami menapaki jalan pulang. Lampu-lampu di tiang-tiang listrik dan rumah warga sudah dinyalakan di sepanjang jalan. Gemerlap kota bagi orang yang punya, bagi kami yang bersimbah peluh mencari kerja, kota ini terasa gelap gulita. Suara mesin dan knalpot kendaraan yang melintasi kami telah menjadi nyanyian pengantar langkah yang telah letih ini. Dua puluh tujuh malam telah kami lewati dengan hati tersayat-sayat dan sedih.

  "Ini," kata Gaplek seraya menyodorkan sebotol air mineral padaku. Aku menolaknya dengan gelengan kepala. "Kau lelah?"

  "Sangat," aku menjawab sebisanya, meski untuk bicara pun berat terasa.

  "Kita akan sukses, Nur," Gaplek menepuk bahuku. "Kesabaran kita pasti akan membuahkan hasil. Tuhan itu Maha Melihat. Tidak mungkin Dia buta dari kita yang tengah kesusahan ini."

  Walau kesannya riang, namun ucapannya itu membuatku semakin sedih. Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Ini air mata kepasrahan, aku membenak. Aku sudah berusaha semampuku dan tak jua kunjung terlihat hasilnya. Hatiku sakit sekali. Aku hanya ingin mendapat uang untuk mengejar mimpiku. Apa aku salah? Apakah pekerjaan di dunia ini hanya boleh diperuntukkan bagi orang-orang bersulah?

  "Jangan sedih, Kawan," Gaplek coba membesarkanku. "Niat kita ini suci. Kita pasti bisa mendapatkan apa yang kita impikan. Kita tidak selemah air matamu itu. Jatuh dan tak berarti lagi. Sama sekali tidak seperti itu. Hari ini, kita boleh berduka atas penderitaan ini, tapi nanti, kitalah pemenangnya!"

  Tangisku semakin pilu. Dadaku terasa dijepit keras dari dua arah berlawanan. Rasanya susah bagiku untuk bernafas. Hingga kudongakkan kepalaku untuk mencairkan suasana jiwaku. Kurekat lagi kepingan hatiku yang sudah hancur. Dan aku mulai mengangguk.

  "Mencari pekerjaan adalah tantangan terbesar dalam hidup," kataku terbata. Saat ini aku tengah berusaha menguatkan batinku. Gaplek menatapku dan mulai membaca pergolakan dalam jiwaku. Dia pun mengangguk mantap sebagai tanda ia telah berhasil menebak apa yang tengah tersirat di kalbuku. "Tantangan itu harus kita taklukkan!"

  "Kita pasti bisa!"

  "Pasti bisa!"

  "Awuu...!"

  Gaplek melolong panjang, lalu melompat-lompat setinggi-tingginya. Tingkahnya layaknya orang gila yang baru diberi uang. Tangisku berhenti seketika itu juga dan aku mulai tertawa lagi. Kami pun segera berlarian di pinggiran jalan. Seperti dua bocah yang tengah mengejar layangan putus. Hari esok masih ada. Harapan masih terjaga. Mimpi kami belum pudar.

  Sepanjang sisa perjalanan, sesekali aku menoleh ke belakang, kulihat lampu-lampu jalan yang turut bantu menghiasi kota malam ini. Langkah kami semakin menjauhi kota dan dari kejauhan itulah aku bisa membayangkan betapa hebatnya kota ini. Kota sekecil ini mampu mengaburkan ribuan derita manusia, termasuk kami, dengan gemerlapnya.

Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Horor/Baur

Cerpen Horor/Baur 2

Cerpen Horor/Baur 2