Cerpen Janur: Laptop
Janur: Laptop
Kategori: Cerpen
Usia Prioritas Membaca: Di Atas 15 Tahun
Betapa hati tidaklah bersedih ketika sekolah terasa sangat membebani. Bukan hanya aku, seluruh murid di sekolah ini juga pasti merasakan hal sama yang dikarenakan oleh adanya aturan baru yang dikeluarkan pihak sekolah. Katanya aturan ini dibuat oleh Kementrian Pendidikan, tapi rasa-rasanya itu tidak mungkin, sebab aturan baru kali ini benar-benar terasa asing bagi kami sehingga kesannya seperti sengaja dibuat sekarepe dewe.
Kami ini, terutama aku bukanlah anak orang kaya. Memang ada beberapa murid di kelasku yang bisa dikategorikan sebagai orang mampu, tapi, ya, mampu alakadarnyalah. Celana dipensil-pensil, itu hanya kaya biasa, seragam longgar (terutama para siswi) dimodifikasi biar gundukan bokong dan belahan susu bisa terlihat jelas, kepornografian ini masuk dalam kategori kaya rendahan, lalu ada juga anak yang menggunakan ponsel yang bisa dilipat atau digeser-geser, ini baru kaya standar. Kalau kaya kelas akhir tadi sudah sering kutemui. Biasanya anak-anak sekelas ini merupakan hasil cetakannya para pejabat atau bisa juga asalnya dari kelas macam kami ini, hanya saja tukang-tukang cetaknya tengah menyamarkan diri dengan berutang di jasa kreditan.
Peraturan baru ini diterbit dan dikumandangkan oleh kepala sekolah pada tadi pagi, yakni saat giliran amanat pembina upacara. Kepala sekolah yang saat itu bertugas sebagai pembina, menyampaikan risalah yang bukan main-main!
"Anak-anakku sekalian yang saya cintai dan saya banggakan!" Pak Rahmadi berkata di atas podium. "Sekolah kita harus mampu bersaing dengan sekolah lain! Baik itu dari segi mata pelajaran, mau pun dari segi cara pembelajaran! Di era digitalisasi ini kita harus mampu menunjukkan daya saing kita agar menjadi sekolah yang diakui oleh negara! Lantas, bagaimana caranya? Caranya, yakni, bahwa pada hari ini, Senin, 2 Maret 2020, kami, para guru, telah sepenuhnya setuju pada peraturan pemerintah yang mewajibkan seluruh siswa di sekolah ini agar memiliki laptop sendiri!"
"Allahu akbar!"
Salah satu siswa yang berbaris di kananku lantas berteriak. Dialah Gaplek. Anak itu terkejut setengah mati. Kulihat matanya yang keruh itu hampir saja melompat dari rongganya.
Seluruh barisan kala itu spontan dibuat rusuh setelah mendengar isi peraturan baru tersebut. Seluruh air muka di lapangan basket itu dalam sekejap berubah menjadi murung dan penuh kekalahan. Kami hampir saja tidak mempercayai berita itu, jika saja Pak Rahmadi tidak mengulangi isi peraturan tadi untuk yang kedua kalinya.
"Ini demi persaingan!" ujar Pak Rahmadi menggebu-gebu. "Tahun lalu, sekolah lain sudah melaksanakan UN dan UAS menggunakan komputer, maka tahun ini kita akan menjadi pelopor bagi sekolah lain. Kita akan melaksanakan kedua momen tersebut menggunakan laptop pribadi masing-masing!"
"Allahu akbar!" sekali lagi Gaplek bertakbir tanda ketidakpercayaannya akan berita ini.
"Tidak ada tapi-tapian! Tidak ada komplain! Ini titah pemerintah! Wajib dilaksanakan! Bagi siapa yang tidak bersedia membeli laptop, maka dia akan dikeluarkan dari sekolah ini secara tidak hormat!"
"Allahu akbar!"
Upacara tadi pagi lantas bubar tanpa doa dan penutup, tepat setelah Gaplek menyerukan takbirnya yang terakhir. Kekecewaan para pemirsa membuat upacara kali ini menjadi berantakan.
Kami pun kembali ke kelas membawa kegundahan, terutama aku. Di musim wabah Covid-19 ini bisa-bisanya muncul kasus baru di sekolah ini. Harga jahe dan temulawak di Pasar Kemakmuran makin melambung, membeli dua macam racikan jamu itu saja ibu-ibu mesti pikir seribu kali , apa hal itu tidak terpikirkan oleh Pak Rahmadi? Kepala Sekolah yang satu ini memang aneh. Mungkin otaknya sudah miring sebelah atau bagaimana.
Seharusnya aku tidak perlu terbawa-bawa suasana, sebab tidak sekali ini Pak Rahmadi membeberkan masalah asing semacam ini. Dua bulan yang lalu, beliau juga pernah memberikan dakwah 'nyeleneh' yang mengharuskan para murid agar membawa parang sendiri. Tujuannya bukan untuk akting tawuran sekolah, tapi untuk 'basiang' atau membersihkan rumput di halaman sekolah. Beliau seolah tak peduli akan resiko yang mungkin akan kami peroleh bila membawa parang di jalan raya. Mata beliau beda dengan mata polisi. Di mata beliau, tujuan parang guna bersih-bersih, sedangkan di mata polisi, parang adalah senjata tajam. Wajib kena razia. Selain itu, di mata Pak Rahmadi, melihat parang, ya, memang parang, tapi kalau di mata polisi, melihat parang, sama dengan melihat duit. Akhirnya, terpaksa jua kami menyarung parang di dalam tas. Jalan yang ditempuh pun bukanlah jalan raya, tapi jalan pintas melewati persawahan warga setempat.
Keanehan Pak Rahmadi memang telah terjadi berulang kali dan kami, para murid, selama ini selalu sabar menerima takdir. Namun, untuk kali ini, sepertinya tidak. Kami bukanlah sapi ditali hidung. Peraturan macam ini sangat tidak manusiawi. Mendapatkan uang dalam jumlah jutaan itu bukanlah perkara mudah. Orangtua kami bisa kehilangan tulang belakang.
"Bagaimana menurut kalian dengan peraturan baru di sekolah ini?" tanya Ajeng seraya menghempaskan dirinya ke kursi. Kami duduk saling berhadapan, bila dilihat dari atas, posisi kami seperti empat titik bangun persegi.
"Aku 'no comment' -dah," ujar Gaplek. "Kalau masalah itu dibuat soal pilihan ganda, misal, apa pilihan terbaik bagi Anda bila tak sanggup beli laptop? A, dikeluarkan, B, ditembak mati, C, jadi tukang pisang. Aku pilih C. Hidup segan, mati tak mau."
"Aku pilih D," Dimas lantas menyahut.
"D tidak ada dalam pilihan jawaban, Dim."
"Ada, Plek. D, salah semua," anak siluman itu terbahak, lalu disusul oleh Ajeng.
"Kupikir, peraturan kali ini sangat memberatkan kita, para pelajar," kataku. "Kesannya sangat egois dan semau-maunya. Dimutilasi gara-gara perkara ini mungkin akan sangat membantu. Tapi, anjing pun tak mungkin sudi makan bangkai kita yang mati membawa kebimbangan. Kasus seperti ini terlalu pelik untuk kita hadapi. Orangtua kita pun tak mungkin setuju dengan peraturan macam tahi ini. Mana mungkin ayah atau ibu kita sanggup mendapatkan uang lima juta dalam dua bulan ke depan guna membelikan laptop untuk kita. Itu sungguh tidak masuk akal. Bayangkan saja, beli buku mata pelajaran saja kadang harus menyicil. Aku pribadi, lebih baik mati kena Corona, ketimbang harus membuat ibuku makin terbebani atas kasus ini."
"Ya," Gaplek berkata sambil melepas nafas panjang. "Selama ini kita sudah terlalu banyak merepotkan orang tua kita. Terutama aku. Ibuku sudah punya utang di mana-mana hanya untuk menahanku agar tetap sekolah. Ratusan kolektor tiap hari mengetuk pintu rumah kami. Itu sebabnya aku," dia menunjukku, "coba-coba mencari pekerjaan. Melunasi utang beliau juga tujuan besarku, Nur, asal kautahu, selain melamar Sekuntum. Rasanya aku juga tidak sampai hati bila harus menambahkan aturan ini ke dalam buku daftar utangnya."
"Rupa-rupanya, Rahmadi sontoloyo itu sudah kerasukan setan laptop!" umpat seseorang tiba-tiba. Pemilik suara itu adalah Dewi. Anak jalang itu melepaskan kekesalannya dengan menghempaskan buku catatannya ke meja. Kami kompak untuk diam dan mendengarkannya dulu.
"Kau harusnya tidak perlu khawatir," sahut rekannya, Mirna. Anak itu duduk di sebelah Zahra dalam satu bangku sehingga pantat keduanya saling bergandengan seperti dua apam matang. "Bapakmu wakil camat. Tidak sampai satu jam di toko, sebiji laptop sudah pasti bisa dikresek."
"Ayahku selalu kalah sama Ibu. Minta ini dan itu harus seizin bendahara, sedangkan bendaharanya pelit. Galak pula. Jadi susah malaknya, Mir."
"Kalau begitu kautinggal selingkuhi bapakmulah," ujar Zahra.
"Apa kalian lihat-lihat! Dasar bocah picisan!"
Dewi menyemprot kami begitu menyadari bahwa kami tengah menguping pembicaraan mereka. Bukannya tersinggung, kami malah menertawakannya. Kedua temannya ikut mencibir kami dengan raut seram seperti wajah orang lumpuh sebelah.
"Apa perlu kita adakan demo ke Kantor Rahmadi dungu itu?" Mirna memberi gagasan.
"Bisa itu! Aku sanggup mengumpulkan segudang gembel di sekolah ini dalam satu hari!" anak jalang itu angkuhnya makin menjadi-jadi.
"Demo tidak ada artinya, Wi," Zahra menampik. "Kalau kepala sekolah mampu meredam demonstrasi, maka yang terjadi adalah Pak Rahmadi akan dinaikpangkatkan lagi jadi suhu."
"Suhu?"
"Gila kau!"
"Pokoknya, demo-demoan tidak perlulah. Jalan kekerasan tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan."
"Lantas, apa yang harus kita lakukan?"
"Nah! Aku punya solusi untuk itu!" aku langsung menyerobot topik tanpa permisi.
Ketiga gadis itu menatapku dengan muka masam.
"Apa rencanamu, Lanji?" tanya Mirna ketus.
"Rencanaku," aku memulai dengan geram lantaran agak tersinggung karena sudah disebut Lanji, "sebaiknya kalian rayu Rahmadi bangsat itu untuk membatalkan peraturan baru ini dengan cara apapun. Kalau perlu, ajak dia 'foursome' bersama kalian. Bukankah kalian sudah tidak perawan lagi?"
"Dasar lanji!"
Pada jam istirahat kedua, kami sudah berada di tempat parkir motor murid. Di sini memang lebih nyaman ketimbang nongkrong di kantin. Tidak ada apam bugis atau dadar gulung di sini, jadinya saku tidak mengalami kekurasan. Selain itu di jam-jam seperti ini, kondisi tempat parkiran ini terasa sangat kondusif. Kalau di kantin, aku pribadi, hampir tidak mampu berpikir jernih, apalagi berkhayal pergi ke Jepang.
Suasana lengang sekali, macam Wuhan kala ini. Mungkin itu lantaran seluruh murid sedang tumpah-ruah di kantin. Jam istirahat kedua memang saat-saatnya lambung menjerit. Tapi, aku kalem-kalem saja. Sebab, waktu istirahat pertama tadi, aku sudah makan goreng pisang lima, tapi bayar dua. Ya, mumpung Bi Nem lagi sibuk-sibuknya membuatkan teh es bagi anak-anak lain. Lumayan, Bi. Hitung-hitung sedekah ke anak yatim. Meskipun aku sadar apa yang kulakukan ini sudah dikategorikan sebagai tindak kriminal, tapi ini demi uang sakuku yang pas-pasan.
"Apa yang harus kita lakukan untuk mencegah peraturan konyol ini?" Dimas bertanya dengan menggumam. Tidak tahu kepada siapa ia bertanya.
"Santailah, Dim," Gaplek menyambut kalem. "Memangnya siapa Rahmadi itu? Kalau hanya menjabat sebagai kepala sekolah, semua guru di sini juga bisa. Dengan jabatan kepala sekolah boleh saja minta ini itu, tapi bukan berarti harus terkabulkan semua. Ada dua hal yang harus dipertimbangkan dalam hidup ini. Pertama, pertimbangkan kemampuan diri sendiri. Dua, pertimbangkan kemampuan orang lain. Jika pun dia merasa sanggup untuk membeli laptop untuk dirinya sendiri, belum tentu bagi orang lain. Sosialitas harusnya berkesetimbangan agar tidak ada pihak yang merasa terbebani."
"Terbebani. Katamu itu sangat kusetujui. Hal seperti inilah yang bisa membuat siswa lebih memilih putus sekolah," kata Ajeng.
"Putus sekolah masih lebih baik, Jeng. Bagaimana kalau siswa dan orangtua bersangkutan memilih bunuh diri? Permintaan maaf di kemudian hari mungkin bisa terucapkan, tapi itu tidak cukup untuk mengembalikan nyawa si mati. Haruskah tiga nyawa manusia tergadai percuma oleh laptop lima juta? Lantas, di mana kebijakannya?"
"Dulu," Dimas berkata, "Ibu menyuruhku bersekolah di sini dengan harapan agar aku mendapatkan ijazah untuk bisa kupergunakan sebagai media pencari kerja di masa depan. Dulunya aku bodoh. Aku manut saja. Sekarang aku sudah lumayan pintar mencerna harapan beliau, sehingga aku sudah putuskan membuat perjanjian pada diriku sendiri agar terus sekolah untuk memenuhi harapan beliau. Aku ingin mengubah doa dan impian beliau menjadi bulir-bulir mutiara kenyataan. Kenyataan, bahwa nantinya aku bisa jadi orang besar. Namun...," dia berhenti sejenak dengan wajah tertunduk, lalu ia menarik nafas dalam-dalam, "aku sungguh tidak menduga akan adanya peraturan baru ini. Aku bingung akan apa yang harus kulakukan. Bapakku sudah tiada. Kalau aku memaksakan diri memberitahukan hal ini pada ibuku, tentu peristiwa ini akan menyiksanya. Ibuku sudah tua. Bagaimana caranya wanita tua seperti beliau mampu mendapatkan uang lima jutaan guna membeli laptop untukku?"
Satu-satunya rekan yang senasib denganku hanyalah Dimas. Sehingga aku mengerti sekali akan kehidupannya. Sama seperti aku, ayahnya juga telah meninggal. Bedanya, aku ditinggal Ayah sebelum aku masuk SD, sedangkan Dimas menjadi yatim setelah dia duduk di bangku SMA. Sepeninggal sang suami, ibunya melanjutkan hidup dengan berjualan ikan di pasar. Ibuku sering membeli dagangannya, walaupun sedikit, tapi tujuan Ibu bukan main.
"Anaknya itu temanmu. Kalau uang yang Ibu berikan untuk membeli dagangannya ternyata bukan untuknya, setidaknya untuk temanmu, bukan?" begitulah kata beliau. Ibuku hebat. Tampilan luar, boleh kuningan, tapi dalamnya, emas sepuhan.
"Peraturan seperti ini sangat tidak berperikemanusiaan," kata Ajeng. "UN seharusnya tidak perlu dipaksa-paksakan dengan memiliki laptop segala, sebab tidak semua orangtua murid tergolong mampu. Buat makan tiga kali sehari saja susahnya minta ampun. Toleransi di sekolah ini masih harus dibina lagi dan baiknya Pak Rahmadi perlu belajar lagi mengenai itu. Kalau harus menuruti keinginannya saja, maka skakmatlah kita."
"Mungkin tidak bagimu, Jeng," sahutku.
"Memang tidak, Nur. Jangankan laptop, helikopter pun bukan masalah bagi seorang pengusaha seperti ayahku. Aku tinggal memberitahu beliau hari ini, besok pasti sudah bisa kuperlihatkan pada kalian. Tapi, apa artinya semua itu? Jika hanya untuk pamer saja, maka semuanya tiada gunanya. Nasib baik bila nantinya aku sudah ditakdirkan pasti lulus di sekolah ini. Namun, bagaimana kalau ternyata tidak? Bisa-bisa aku bakal dipancung Ayah seumur hidup."
Tepat begitu Ajeng selesai bicara, tiba-tiba saja Ramani, teman sekelas kami, berlari ke arah kami. Anak berkulit cokelat itu tampak kelelahan ketika tiba di depan kami.
"Ada apa, Men?" tanya Gaplek. 'Men' untuk 'Man', seperti mengucap 'Spiderman'. Anak itu sudah langganan dipanggil begitu. Terdengar cakep katanya.
"Gawat, Plek!" jawabnya di sela nafas beratnya. Dia beralih menatapku, "Calon istrimu, Nur!"
"Calon istriku? Misna maksudmu?"
"Siapa lagi!"
"Ada apa dengannya?" aku mulai mengkhawatirkan bidadariku itu. Ketiga rekanku juga langsung angkat kuping.
"Dia sedang mengamuk di depan kantor Kepala Sekolah!"
"Apa!"
Kami segera berlarian menuju kantor Pak Rahmadi. Di halaman sana ratusan anak sudah berhamburan menyaksikan seorang gadis yang tengah berbicara keras di hadapan Pak Rahmadi.
Kami berlima gegas menyeruak di tengah kerumunan massa. Terutama aku. Naluri lelakiku seakan mendesakku agar secepatnya tiba di dekat Misna. Aku takut bila terjadi apa-apa padanya dan yang paling kucemaskan bila aku sedang tak berada di sampingnya kala seseorang mencoba menyakitinya. Dia memang galak dan pandai berkelahi, tapi yang namanya wanita, sejago apapun dalam hal adu jotos, pasti punya kelemahan juga, yakni di urat syaraf. Cukup tampar saja pantatnya, responnya pasti akan jadi plus minus.
Misna adalah pelajar kelas 2E dan merupakan seorang juru keadilan dalam Badan OSIS. Anggap saja dia seperti seorang hakim di meja hijau. Motto besar yang sering diucapkannya mirip dengan ucapan tokoh besar dalam bidang teknologi, yakni Elbert Einsten, yang berbunyi, 'Adanya dingin karena tiadanya kehangatan. Adanya kesalahan karena tiadanya ketidakadilan.'. Sehingga baginya, barangsiapa yang bersalah, pasti karena dia tidak adil pada sesama. Dan dikarenakan adanya ketidakadilan antarsesama, maka itu artinya orang tersebut secara sengaja atau tidak telah melakukan ketidakadilan pula dalam hidupnya.
Misna itu bukan pacarku. Dia hanyalah seorang gadis yang paling aku sukai. Aku menyukainya, namun aku tidak mengatakan perasaanku padanya. Kurasa dia juga suka padaku, sebab dia juga tidak pernah mengatakan perasaannya padaku. Kami dekat sejak SMP kelas dua. Dia seorang gadis manis, bertubuh sedang, kulit gelap, bermata sipit, dan dengan tulang hidung terlihat sejajar dengan dahi dan dagunya. Hobinya suka main tinju, walau tidak seekstrem Ajeng. Sangat sesuai dengan pangkatnya saat ini. Keadilan harus dilayangkan dengan tinju, bukan dengan sekadar omong kosong atau jeruji besi.
"Mana dia Menteri Pendidikan! Tunjukkan pada saya, biar saya yang bicara!" Sang Seksi Keadilan menantang.
"Misna, jaga suaramu!" tegur Bu Ririn, wali kelas 2E.
"Maafkan saya Bu, namun saya tidak akan berhenti sebelum keadilan benar-benar ditegakkan di sekolah ini. Ini tugas saya," Misna menjawab sopan. "Saya merasa telah dipikulkan beban berat di dua bahu saya ketika mendengari banyak keluhan siswa atas adanya peraturan baru ini. Saya sendiri juga meresahkannya. Andaikan sekarang ini saya bukan seorang Seksi Keadilan, saya tetap akan mencari keadilan di sini, walau bagaimana pun caranya."
"Pak Rahmadi, akuilah oleh Bapak bahwa selama ini kami selalu mampu menuruti perintah Bapak. Mulai dari perintah membajak lahan, membawa parang, memperbaiki atap rumah dinas, sampai dengan meringkus Damrah (maling barang yang menyamar sebagai agen kebersihan). Sejauh ini bisa dikatakan bahwa kami telah diperbudak oleh Bapak. Bagi Bapak, kami ini tidak jauh beda dengan babu...!"
"Allahu akbar!" Gaplek lantas berseru girang.
Seluruh pelajar di atas panggung rumput hijau ini sontak susul bersorak demi menyemangati gadis pemberani di depan mereka.
"Hidup Ratu Keadilan!"
"Hidup!"
"Turunkan Rahmadi!"
"Turun!"
"Allahu akbar!"
Kepala Sekolah tampak mulai mengakui kesalahannya. Dari air muka yang perlahan surut itu terlihatlah sebuah penyesalan. Dia menatap murid-murid di hadapannya dengan wajah ketakutan bercampur kerisauan. Para guru lain juga terlihat sama. Kata-kata Misna mulai mereka anggap ada benarnya.
"Pak Rahmadi," Misna melanjutkan, "kami tahu bahwa sekolah ini adalah sekolah jenjang negeri, namun tidak semua sekolah negeri mengharuskan seluruh siswanya agar memiliki teknologi yang mumpuni, mengingat delapan puluh persen orangtua murid di sini yang hidup di bawah rata-rata. Jangankan orang tua di bawah standar, yang di atasnya pun kemungkinan akan merasa keberatan untuk membelikan anaknya sebuah laptop."
"Selain itu," Penny, pemuda tampan berpangkat Ketua OSIS ikut maju menambahkan, "andai saja dunia pendidikan di sini adalah bangku perkuliahan, mungkin memiliki laptop pribadi kedengarannya akan lebih wajar. Akan tetapi sekolah ini masih berstatus SMA, daya saring muridnya rata-rata masih labil. Tidak melulu bila siswa telah memiliki laptop akan digunakannya untuk sarana belajar positif saja, tapi bisa juga ia akan menggunakan ke hal lainnya, misal, ke arah internet negatif. Jelas, hal itu merupakan penyimpangan prilaku. Memang, kasus itu bisa diperbaiki, namun prosesnya tidak sebentar. Sekali seseorang terjerumus dalam kejahatan internet, kemungkinan selamanya ia takkan terselamatkan."
Aku merasa panas hati ketika Penny coba membela-bela Misna di depan mataku. Kelihatan sekali anak itu sedang mencari muka pada gadis yang kusukai. Tanpa basi-basi lagi, langsung saja kudorong anak itu kembali ke barisan kerumunan, dan tempatnya berdiri tadi lantas terganti oleh sosokku yang lumayan. Lumayan rupawan.
"Yang pasti, di dalam laptop ada internet, di dalam internet ada hal positif dan negatif," kataku sambil menebar kedipan pada gadis di sebelahku.
Seperti biasa, kali ini pun Misna hanya mendengus melihatku. Aku tahu apa sedang dikhawatirkannya bila masalah terpaksa jatuh ke tanganku. Semuanya akan menjadi runyam dan gawat, pastinya, dan kemungkinan dia akan menerima malu bila ternyata dugaannya itu terbukti benar. Namun, aku pastikan bahwa hal itu takkan terjadi. Aku sudah tahu apa yang dicemaskannya dan aku akan berusaha menghindarinya dengan memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan di hadapan ratus pasang mata di halaman ini. Di sisi lain, inilah saatnya aku membuktikan bahwa Januardi bukan hanya seorang anak cabul yang cerdik curi kesempatan dalam kesempitan, tapi dia juga seorang anak yang hebat dalam memberikan gagasan. Inilah saatnya! Inilah saatnya Januardi bersinar!
"Wahai Pak Rahmadi dan para Guru sekalian," aku melanjutkan dengan lantang, "layaknya sinetron, internet juga memberikan dampak besar bagi kehidupan para remaja seperti kami ini. Dampak itu bermacam-macam dan tak mungkin saya sebutkan satu per satu. Lihatlah Muallimin di sana! Namanya bagus, tapi gara-gara ponsel saja martabat namanya jadi rendahan! Dulu, semasa SMP, sebelum dia mengerti internet, badannya segemuk Giant, tapi sekarang, badannya sudah seperti Soneo, sebab sejak dia mulai tahu internet, anak itu suka membuka situs porno dan mulai pintar beronani!"
"Allahu akbar!"
"Para Pemirsa harap tenang! Diaamm...!" aku berteriak untuk membelah kegaduhan yang mulai menggema gara-gara Gaplek. Anak bernama Muallimin langsung melarikan diri dari kerumunan. "Saya belum selesai bicara! Ributlah kalian setelah saya usai bicara!" Massa mulai tenang kembali. "Kecanggihan teknologi memang banyak membantu manusia dalam melakukan berbagai tugas, termasuk laptop. Seperti Makanja Lade, tetangga saya, dia hidup bersama laptop. Tiap hari menulis artikel untuk mengisi blog-nya. Dia mempergunakan laptop dengan bijak. Banyak orang berkunjung di halaman blog-nya agar bisa membaca artikel yang dimuatnya. Dia dikenal dan itu tandanya laptop telah membantu tugasnya serta mengubah kehidupannya."
"Namun, tidak selalu laptop dipergunakan sebijak tetangga saya itu. Sudah banyak kasus kejahatan terjadi yang disebabkan oleh kesalahan pengguna laptop. Dengar-dengar berita, beberapa bulan yang lalu telah terjadi tindak kejahatan di kota kita ini terkait pada topik pembicaraan kita ini. Berita itu mengabarkan bahwa ada seorang anak lelaki berusia lima belas tahunan yang beralamatkan Desa Baharu. Lima belas tahun, mungkin masih SMP, kelas tiga. Kasus terjadi lantaran pemuda tersebut suka menonton video panas di laptopnya. Hasrat lelakinya yang sedang naik ampere mengubah pikirannya menjadi buas sehingga ia tega memperkosa seorang anak perempuan kelas empat SD yang kebetulan lewat di depan rumahnya saat dia tengah berejakulasi. Tentu saja, tak berselang satu jam setelah ia melepas sperma, setruk polisi langsung mengunjungi rumahnya. Lima belas tahun penjara terpaksa harus dikecapnya untuk satu kali dia buang hajat. Ini hanya contoh ketidakbijakan dalam mempergunakan laptop. Selain ini pasti juga ada contoh nyata lainnya."
"Tak perlu laptop-laptopanlah, cukup ponsel saja sudah banyak mengubah masa depan cerah menjadi gelap bagi tunas bangsa ini. Usah bicara Jakarta dulu, cukup di Kotabaru ini saja sudah menjamur anak-anak bau kencur yang sudah tidak bujang lagi. Keperawanan mereka amblas percuma usai menonton film biru. Di kota ini, perempuan berjilbab saja belum tentu bujang dalamnya, bisa saja sesuatu di balik softeksnya sudah babak belur dihajar benda tumpul milik kekasihnya yang belum tentu akan menjadi suaminya. Semua itu terjadi karena teknologi, Pak Rahmadi. Maka, pikirkanlah terlebih dahulu sebelum Bapak mengambil keputusan," aku menyudahi.
"Allahu akbar!"
Kali ini Gaplek mengucap takbir bersamaan dengan tepuk tangannya yang berirama cepat namun meriah, jelas sekali aplaus itu untukku. Tepuk tangan Gaplek belum terputus sampai satu demi satu murid-murid menyusulnya. Tepuk tangan pun menggemuruh untukku. Aku sungguh tidak menyangka bila segala yang kuucapkan tadi akan mendapatkan sebuah apresiasi sebesar ini.
Sebelum melangkah mundur, kulirik Misna, gadis itu juga turut bertepuk tangan di depanku sambil melebarkan senyumnya. Aku senang. Namun, hal yang paling membuatku merasa puas karena kali ini aku berhasil untuk tidak bicara sembarangan sehingga aku tidak mempermalukannya di depan umum. Aku pun kembali ke kerumunan. Di belakang sini, Gaplek dan dua rekanku berkali-kali memukul pundakku sambil memberikan pujian padaku. Jelas, mereka sangat senang atas penampilanku tadi. Mereka bilang, Januardi telah bersinar!
Misna, selaku pemulai acara kembali unjuk gigi, "Jadi, bagaimana, Pak Rahmadi? Setelah mendengarkan argumen kami, apakah Bapak dan Guru-Guru Terhormat akan tetap mewajibkan kami memiliki laptop pribadi?" Pak Rahmadi dan guru lain terdiam. Anak-anak menunggu jawaban dengan berdebar. "Jika Bapak dan Ibu sekalian tetap bersikeras, maka kami tak punya pilihan lain selain berhenti serempak dari sekolah ini. Apa kalian semua setuju, Pemirsa...!"
"Setuju...!"
Selesai.

Komentar
Posting Komentar