Cerpen Horor/Baur

 


Para Penjaga Makam

  Namaku Calus, seorang anak biasa yang selama ini hidup dan berkembang di kampungku, Batu Tangga. Kalau kalian ingin bertemu denganku, kau cukup bertanya ke orang-orang di desa ini dengan menyebutkan namaku. Mereka pasti akan langsung menuntunmu kepadaku.

  Sebuah amplop cokelat baru saja kuterima tadi siang dari seorang pria yang asing. Orang itu bersengaja tandang ke kediamanku yang selalu dalam lingkup rahmat Ilahi. Ketika kubuka perekat yang menempel pada penutup amplopnya, aku pun langsung dibuat tersenyum bahagia lantaran kudapati isi amplop itu ternyata bukanlah sebuah surat berisi pesan tinta hitam, melainkan berupa beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Lantas kulirik seuntai nama seseorang yang tertulis di belakang amplop itu. Ya, tiga puluh ribu untuk Rohania binti Abu Barak. Easy money.

  Uang di amplop itu bukan dikasih secara cuma-cuma, melainkan berisi tentang pesan kewajiban yang mesti kulaksanakan. Apa itu? Yakni tentang salat jenazah yang biasa didirikan pada pukul tiga sore. Kepada si nama wanita di amplop itulah pahala salatnya harus kuselipkan.

  Ini bukanlah kali pertama aku diundang dalam upacara salat jenazah. Tetapi sudah puluhan kali. Meski masih belia begini, namun kealimanku sudah diakui seluruh lapisan masyarakat di desa ini.

  Salat jenazah yang akan menantiku ke depan akan dilaksanakan di Masjid Ash Shalihin yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. Si penitip amplop itulah yang memberi tahu tempat pelaksanaannya. Lantas, setengah jam sebelum waktunya, aku sudah berhadir di lokasi dan mulai mengambil obrolan bersama para tetua desa sambil menunggu kedatangan si mayat.

  "Rohania yang mati itu masih gadis atau sudah janda, ya, Pak Sip, ya?" tanya Pak Seleman kepada Pak Sipuden. Asap rokok yang tadinya sempat dikulumnya mendadak keluar dari mulut dan lubang hidungnya.

  Sebelum menjawab, Pak Sipuden memilih menghisap rokok kreteknya yang tinggal setengah dengan penuh gaya. "Aku juga lupa, Pak Lem. Tetapi, rasa-rasanya dia sudah janda, Pak," Beliau menjawab usai coba mengingat-ingat. "Si Dulah yang mati dua tahun lalu itulah bekas suaminya."

  "Pak Dulah yang dulu suka teler itukah?" serobotku.

  "Orang yang kau sebut itu Dulah juga namanya, Lus. Tetapi, orang yang kita bicarakan sekarang nama lengkapnya Duladul. Lelaki yang mati kelelep di sungai itu."

  "Oh, ya. Dulah Si Kumis Dua Hasta!"

  "Iya, dia."

  "Tetapi, rasanya dia bukan suami dari yang mati ini, Pak Sip," tukasku.

  "Mereka kawin di bawah tangan. Di satu kampung ini hanya beberapa orang yang mengetahui status mereka."

  "Sayangnya mereka sudah sama-sama mati."

  "Ya," sahut Pak Seleman dengan santainya. "Padahal Rohania masih muda."

  Sudah jadi kebiasaan, kalau yang mati adalah seorang wanita maka si almarhumah akan menjadi bahan buah bibir bagi siapa pun yang melayat.

  Sekelompok masyarakat dari desa sebelah juga tampaknya telah diundang untuk menghadiri acara salat jenazah berjamaah di depan si mati. Mereka tiba secara bersamaan dalam satu bak taksi desa. Beberapa orang di antara mereka lantas turun dari kendaraan angkutan tadi lalu menghampiri kami yang masih bersantai di sini.

  Namun, baru beberapa saat saja kami memulai perbincangan, tiba-tiba kerumunan para pengusung dan pengantar mayat telah muncul di jalur hulu jalan. Obrolan singkat yang hampir menuju titik keseruan terpaksa kami tepikan terlebih dahulu. Begitu para pengusung jenazah telah memasuki pintu masjid, barulah kami ikut membuntut di belakang.

  "Baiklah, Saudara-Saudara," ucap sang penyelenggara acara dengan suara lantang, yakni ketika saf jamaah sudah rapi. "Di hadapan kita saat ini telah terbujur seorang mayat perempuan bernama Rohania binti Abu Barak dan sebentar lagi kita semua akan melaksanakan Salat Jenazah yang tentunya seluruh pahalanya akan kita hadiahkan kepada almarhumah ini. Baik, yang nantinya akan bertindak sebagai imam atas Salat Jenazah nanti alangkah baiknya kita mintakan langsung kepada Bapak Ustaz Kheir Haiman. Silakan, Pak."

  Kurang dari sepuluh menit kemudian Salat Jenazah telah selesai kami laksanakan. Para pengusung keranda juga telah meninggalkan masjid, membawa si mati menuju TPU alias Tempat Peristirahatan Untuk selamanya. Beberapa anak seusiaku maupun yang masih ingusan lantas turut serta menambah jumlah iring-iringan para pengantar mayat.

  "Lus, tidak ikut merapat?" tanya anak tetanggaku yang amat menyebalkan, si Monyai, sambil melingkarkan sebelah tangannya ke kedua bahuku.

  "Sekarang aku ikut."

  "Santai, woi. Hei, apa kau juga dengar orang yang teriak-teriak bernyanyi di tengah jalan depan rumah kita dini hari tadi?"

  "Maksudmu Suwardi? Aku juga dengar. Pekak kupingku gara-gara dia."

  "Lagunya bagus."

  "Sayangnya suaranya tidak bagus."

  Monyai mengakak. "Lalu, apa kau sudah tahu sebab Rohania itu bisa mati?"

  "Mana kutahu! Rohania, Rohania. Sopanlah sedikit mulutmu itu!"

  "Biasa saja. Orangnya juga sudah gugur di medan juang." Dasar sinting. Dia kira Ibu Rohania itu pahlawan perang. Namun, ternyata kegilaannya belum berakhir sampai di situ saja. Ia lalu berlari mendahului para pengusung jenazah, membukakan gerbangnya, lantas ... "Woi, mayat datang, woi!"

  Beberapa orang pengiring termasuk ahli keluarga si mayat kontan mengucap istigfar begitu mendengar teriakan keras temanku itu yang tentunya ia tujukan kepada para penggali kubur yang sedang beristirahat. Aku sendiri saja sampai merasa malu. Bagaimana bisa aku punya teman macam si Monyai?

  Tugas pemakaman ini hanya sebatas suka rela. Empat lelaki yang diantaranya terdapat salah seorang ahli keluarga si mati bersegera masuk ke liang kubur demi menyambut jasad sang mayat yang hendak ditempatkan di tempat terakhirnya. Sementara itu, kubu satunya yang bertugas menimbuni dan meratakan lubang kubur itu ada aku, Monyai, dan dua pria dewasa lainnya. Ketika si mayat diturunkan, kain karenda hijau bertuliskan dua kalimat tauhid yang tadinya menjadi penutup karenda kembali kami bentangkan di atas lubang pusara. Sampai saat ini pun aku masih belum tahu fungsi pembentangan kain itu. Mungkinkah di antara kalian ada yang tahu?

  "Batu, ada batukah, Nyai?" tanya salah seorang penyambut mayat.

  "Batu? Banyak batu. Batu nisankah?" Monyai yang sudah gila menyahut asal.

  "Batu dalam karung itu, nah, Goblok!"

  "Tunggu sebentar! Ini!"

  "Astagfirullahalazim! Paling aku mintanya lima biji, tetapi sekarang malah kauangkut dengan karung-karungnya!"

  "Alamak! Banyak order kali Anda, ya! Nah, Bapak tinggal tumpuk saja semuanya di dalam sana!"

  "Kau mau menyiksa orang, apa?" di sinilah perdebatan kedua orang itu lantas membuat aku dan orang-orang sekitar menahan tawa. "Sudahlah! Sekarang kauambilkan papan-papan itu!"

  Jasad si mati kini telah ditutupi dengan lembaran papan-papan lahat. Dua orang penyambut jenazah yang tadi sempat berjibaku di dalam liang kubur, kini bergegas naik meninggalkan dua temannya yang tersisa. Papan penyangga tumpukan tanah juga telah dilepaskan. Sekaranglah giliran tim kami yang bergerak. Tanah-tanah lembab berwarna merah segera kami cangkul, kami sorong perlahan ke arah lubang kubur, sementara tim yang satunya menerima uluran longsoran tanah itu, meratakannya dengan tendangan kaki atau mata cangkul, lalu menginjak-injaknya agar tumpukan tanah itu semakin memadat.

  Hingga kurang dari sepuluh menit kemudian sebuah makam baru telah terbentuk. Mulai sekarang, jasad Bu Rohania telah menghilang dari pandangan kami untuk selama-lamanya. Selirik talkin mulai dibacakan oleh seorang ulama di atas pusara itu. Para hadirin di sini pun ikut mendengarkan dengan hikmat dan sama-sama mengamini doa-doa yang terpanjatkan untuk keselamatan dan kebahagian sang mayat selama di dalam tempat tinggalnya yang baru.

  Iring-iringan pengantar jenazah yang tadinya mengerumuni kuburan ini lantas perlahan meninggalkan kami satu demi satu. Si Monyai juga telah izin angkat kaki lebih dulu sejak tadi. Lalu, antara sadar dan tidak dari sinilah aku malah terbenak.

  "Apakah Malaikat Munkar dan Nakir sudah ganti menemui si penghuni kubur itu? Apakah saat ini Bu Rohania sedang ditanyai oleh kedua makhluk gaib itu?"

  Sebelum meninggalkan tempat sakral ini, terlebih dahulu aku bersinggah ke sebuah makam tua yang letaknya di samping pagar depan. Makam itu merupakan makam almarhum kakekku yang meninggal pada tahun 1990 lalu. Batu nisannya yang terbuat dari semen balok juga telah mengusang karena termakan zaman. Di depan pusaranya itulah aku berjongkok, lalu berdoa sambil mengucapkan kebaikan-kebaikan yang pernah kakekku lakukan semasa hidupnya. Wahai Yang Mahasegala, waktu yang Engkau ciptakan sungguh cepat berlalu. Hanya dengannya, tidak sulit bagi-Mu dalam mencabut nyawa setiap makhluk atau menggantinya dengan bibit yang lebih baru.

  Aku baru saja hendak beranjak dari tempatku ketika sebuah tangan tiba-tiba menyentuh pundakku. Dengan segera aku pun berpaling.

  "Pak Rida!" seruku keras karena terkaget-kaget. Pria yang berdiri di depanku saat ini adalah mantan guru ngajiku.

  "Ya, aku bukan almarhum kakekmu," canda beliau lalu terbahak.

  "Maafkan saya. Tadi agak nyaring, ya? Ada apa memangnya, Pak?"

  "Kami ada pekerjaan untukmu, Lus, hingga besok sore. Kalau kau sedang tidak sibuk."

  "Tentu saja, Pak. Kebetulan saya sedang sangat lapang sekarang, maupun besok."

  "Sempurna! Kalau begitu, mari ikut aku."

  Dengan langkah riang aku pun berjalan buntut di belakang Pak Rida. Aku tidak menyangka sama sekali kalau pada akhirnya aku malah diajak kembali ke makam Bu Rohania. Hal itu tentu membuat hatiku bertanya-tanya. Ada apa gerangan?

  "Di sini," ujar Pak Rida lalu. "Kita akan bekerja di sini. Kerjanya cuma mengaji. Kita akan usahakan tamat tiga puluh juz dalam satu hari satu malam. Kau siap?"

  Sebelum menjawab, terlebih dahulu aku melirik ke seorang pria tua yang sedang tadarus Al Qur'an seorang diri di dalam tenda terpal sambil menghadap ke kuburan si almarhumah.

  "Mungkin kau ingin bertanya tentang bayarannya," tebak guruku. "Bayarannya lumayan mahal. Tiga ratus ribu. Perorang."

  "Bukan itu," tukasku cepat. "Maksud saya, apakah kita hanya ditugaskan bertiga?"

  "Oh, ada yang lainnya juga, Lus. Dua orang lagi. Tenang. Pokoknya kalau malam-malam ada penghuni di sini mencoba bangkit dari kuburnya, kita akan lari bareng! Tetapi, kalau hantunya perempuan, kita perkosa dia!"

  "Dasar sarap! Nah, siapa lagi itu?"

  Aku tangkas menunjuk ke arah seorang pria empat puluh tahunan yang sedang berjalan cepat melewati area pemakaman demi menghampiri kami.

  "Pak Zakky. Beliau adalah salah satu saudaranya almarhumah Bu Rohania. Beliau jauh-jauh datang dari Banjarmasin pada tadi malam hanya untuk melayat saudarinya yang malang. Inilah beliau. Pak Zakky, perkenalkan. Dia ini Calus. Dahulu dia pernah menjadi anak didik saya."

  "Oh, Calus!" sapa pria itu dengan suara serak, yang sepertinya memang suara bawaannya. "Saya sudah pernah mendengar orang-orang di sini menyebut-nyebut namamu. Tampaknya kau amat terkenal."

  "Terima kasih."

  "Itu sebabnya saya juga ingin turut mengundangmu dalam pekerjaan ini. Dan kebetulan sekali juga ada mantan gurumu di sini. Selamat bergabung. Semoga proses ini berjalan lancar tanpa kendala yang berarti. Omong-omong, mana yang lainnya, Pak Rida?"

  "Mereka pulang lebih dulu untuk mandi. Kami giliran terakhir."

  "Oh, saya mengerti. Kalau begitu, silakan masuk, teman-teman. Saya membawa kain terpal tambahan guna mendindingi tenda ini. Tidak perlu, Pak. Saya bisa menyelesaikan ini sendiri. Kalian fokus saja dengan pekerjaan kalian. Dan, sebentar lagi putra saya akan datang kemari membawakan makanan dan lain sebagainya untuk kalian. Mulai sekarang hingga acara ini berakhir saya akan terus pantau segala keperluan kalian."

  "Anda baik sekali, Pak Zakky. Terima kasih."

  "Kami sekeluargalah yang harusnya berterima kasih kepada kalian semua. Tanpa kalian, maka kami tidak akan bisa berbuat apa-apa demi membahagiakan saudari kami untuk terakhir kalinya."

  Salat Magrib kali ini tidak mungkin dapat kulaksanakan di Masjid Ash Shalihin, sebab ada tanggung jawab lain yang harus kuselesaikan. Jadi, terpaksa salat jelang malam itu kudirikan di tenda makam ini secara berjamaah bersama empat rekanku. Yang bertindak sebagai imam salat kami di sini adalah Pak Firdaus.

  Sama halnya dengan Pak Rida, Pak Firdaus juga bukanlah orang asing di mataku. Jika Pak Rida merupakan bekas guruku dalam menamatkan Al Qur'an, maka Pak Firdaus ini adalah mantan guruku di bidang ilmu tajwid. Itu sebabnya di mana pun orang tua itu berada, lalu ketika panggilan salat sudah tiba, maka orang-orang akan senantiasa meminta beliau untuk menjadi imam dalam salat yang akan didirikan. Aku sendiri mengakui bahwa kualitas suara dan bacaan beliau memang di atas rata-rata manusia pada umumnya.

  Lalu di sebelahku ada Kak Dijan (dibaca Diyan) yang merupakan guru pembimbingku sekarang di bidang ilmu tauhid. Kak Dijan dulunya pernah menjadi anak pesantren, meski tidak lulus, namun ia sukses membawa berbagai macam ilmu keagamaan dari pondok. Terutama ilmu tentang ketuhanan. Silakan kalian tanya Tuhan sedang berada di mana sekarang, dia pasti tahu. Kalian boleh tanya padanya, misal mengapa manusia hanya diberi satu kali kesempatan hidup di dunia, yang tentu pada akhirnya jawaban logis darinya akan membuat kalian tertawa sekaligus sadar bahwa apa pun yang kalian kerjakan selama ini hanyalah suatu usaha yang sia-sia.

  Terakhir, ada anggota lagi yang belum kuperkenalkan kepada kalian. Beliaulah Pak Hamid. Tidak seperti yang lainnya, beliau bukanlah guru ataupun bekas guruku. Beliau merupakan seorang mualaf yang semenjak empat tahun lalu memeluk Islam. Perangai maupun perkataannya terkadang halus dan kadang pula mampu mengundang tawa.

  Usai salat, kami pun kembali tadarusan secara bergantian. Bagi yang belum mendapat giliran, maka mereka akan saling melempar canda atau mengobrol masalah kehidupan di rumah tangganya masing-masing, yang mana dalam beberapa adegan yang mereka utarakan juga terdapat bermacam kasus konyol yang semua orang di tenda terpingkal-pingkal tak keruan.

  Singkat, hingga malam semakin larut, sebuah ketukan kecil tiba-tiba menggerakkan kain tenda kami. Aku yang baru saja menyelesaikan giliranku lantas bangkit dari tempat dudukku demi menyambut kedatangan sang tamu.

  "Assalamualaikum, Bapak-Bapak," ucap tamu kami dengan hangatnya. Aduhai, dialah sang penerang malam di tengah kuburan yang gelap ini.

  "Marlina, halo!" sambutku cepat. Dia ini temanku semasa duduk di bangku SMP. Sekarang dia sudah tumbuh bujang dan menawan.

  "Halo, Calus! Kamu di sini jugakah?"

  "Ya. Buat menemani om-om yang sedang kesepian di TPU ini."

  Gadis itu pun tertawa. "Ini. Tadi aku disuruh Mbakku membawakan makan malam ini untukmu juga untuk om-om di situ. Lalu ini teh, ini gulanya, air masih ada? Oh, ada. Cukup, ya. Oke, kalau begitu aku permisi dulu. Mari, Bapak-Bapak."

  Tidak mengherankan rasanya kalau Marlina juga turut disuruh datang kemari, sebab seingatku anak itu masih bertalian darah dengan si almarhumah, yakni ayahnya, Pak Prabowo, merupakan saudara sebapak dengan Bu Rohania. Begitu yang kudengar dari mulut rekan-rekanku di sini.

  "Marlina makin cantik, ya," goda Pak Hamid sembari melirikku dengan genit. Aku tidak menjawab, hanya mencibir.

  "Ya, dan dia tampaknya cukup agresif," Kak Dijan dengan konyolnya ikut coba mengomporiku. Dia bahkan bicara padaku sambil mengangguk-anggukkan kepalanya macam pria bajingan.

  "Pak Rida, Pak Daus mengajinya bagus, ya?"

  "Oh, ayolah, Lus!" Pak Hamid cepat menukas. "Kau itu seorang pria idaman, Kawan. Bila kuperhatikan dengan seksama, kau itu adalah seorang yang bertanggung jawab dan kenal agama. Aku yakin kau akan senantiasa mampu menggandeng tangan gadis itu menuju pintu surga."

  "Super sekali!"

  "Cuma sampai pintunya."

  "Pak Hamid, kita ribut di luar, yuk!"

  Satu jam berlalu. Sekarang tiba lagi giliran aku yang tadarusan. Kak Dijan yang sebelumnya dapat sif, langsung beringsut mundur menjauh dari Al Qur'an yang masih terbuka, lalu menyelonjorkan kedua kakinya sambil memutar-mutar badannya ke kiri ke kanan hingga terdengarlah suara gemeriak pada tulang-tulang di tubuhnya.

  "Sampai mana tadi, Kak?"

  "Jus delapan. Kelar."

  "Oke."

  Kini aku telah mendekatkan diri ke sorot cahaya stromking dan segera memulai bacaanku. Dengan tartil dan dengan suara mendayu-dayu kulantunkanlah kalam-kalam Tuhan ayat demi ayat hingga tak terasa bacaanku semakin lama semakin jauh dan semakin banyak. Nada suaraku juga kerap kuubah-ubah sedemikian rupa agar para pendengar di tenda ini tidak merasa bosan.

  Kemudian untuk yang kesekian kalinya pintu tenda kami kembali diketuk oleh seseorang. Kak Dijan yang baru saja menikmati waktu santainya terpaksa jua bergerak menyambut kedatangan sang tamu. Aku cepat melirik sebentar kepada tamu yang tak diundang itu, sementara sang tamu itu sendiri malah terbahak begitu melihat diri ini.

  "Alamak, ternyata Calus sudah pandai menyambi jadi penjaga kuburan profesional," ujarnya seraya merangsek masuk, mengambil sebuah gelas, lalu menuangkan seduhan kopi ke dalamnya. Setelah menenggak sedikit minumannya, ia lantas merebut bungkusan rokok kretek milik Pak Rida tanpa merasa sungkan sama sekali. "Pantas saja tak muncul di masjid, rupa-rupanya kau bermalam di sini. Sudah main berapa kali?"

  Bangsat ini anak satu!

  "Lus, lanjutkan saja bacaanmu," perintah Pak Hamid. Aku pun mengangguk.

  "Jadi, apa niatmu datang kemari, Monyai?" tanya Pak Firdaus kepada sang tamu gendeng. Meski sambil tadarusan, aku masih dapat mendengari percakapan yang tengah berlangsung di sekelilingku meskipun tersayup-sayup.

  "Hanya ingin mengabarkan kalau keadaan desa ini kembali tidak aman," jawab Monyai.

  "Apa itu?"

  "Gading, putranya Pak Martil sudah bebas dari pasungannya."

  "Hih! Benarkah?"

  "Itu benar!"

  "Kapan?"

  "Baru saja."

  "Kau jangan bercanda, Nyai!" sembur Pak Pak Hamid pula.

  "Saya serius!"

  "Demi Tuhan?"

  "Demi Tuhan yang tiada Tuhan selain Tuhan!"

  "Itu gawat! Bagaimana ceritanya anak itu bisa lepas kandang?"

  "Ah, kurungan yang selama ini mengandang anak sinting itu hanya terbuat dari kayu lima-lima. Alat pasungnya juga sudah lapuk. Lagi pun fisik anak itu sangat kokoh dan besar. Terang saja dia bisa bebas. Bahkan dengan kekuatannya itu ia mampu menjebol kandangnya dengan tangan kosong."

  "Cuma dengan tangan kosong!" Kak Dijan kontan berseru sekaligus terperanjat.

  "Saya tidak bohong. Saya sudah mengecek sendiri kondisi kandangnya dan ternyata benar. Lalu saya juga sudah menanyai ayahnya, ya, ceritanya persis seperti yang baru saja kalian dengar tadi."

  "Lalu, ke mana perginya anak itu sekarang."

  "Ayahnya bilang kalau putranya yang tidak waras itu langsung melarikan diri ke *hulu*, yakni setelah ia menghancurkan sarangnya. Makanya saya cepat-cepat kemari untuk mengabari Bapak-Bapak, sekalian memantau situasi. Baiklah, sepertinya di sini aman-aman saja. Kalau begitu saya pamit. Terakhir, omong-omong kopinya pahit, ya."

  Sekarang sudah lewat tengah malam atau pukul satu. Ketiga rekan kami, Pak Hamid, Pak Rida, dan Pak Firdaus sedang mengambil waktu tidur mereka, sementara aku dan Kak Dijan masih harus bergadang hingga satu jam ke depan. Kami benar-benar macam sepasang hansip yang bertugas ronda, hanya saja meronda di tengah TPU.

  Kondisi malam yang semakin dingin nyaris membekukan tubuh kami. Aku saja harus mengenakan dua lapis sarung ke badan untuk mengurangi rasa dingin yang menyiksa. Kain tenda yang keseluruhannya hanya terbuat dari bahan plastik tidak mungkin mampu menahan hawa yang datang dari luar. Jadi, sisi pertahanan itu muncul karena inisiatif diri sendiri saja.

  Suara-suara jangkrik telah bersahut-sahutan sejak beberapa waktu lalu, yang tentunya semakin manambah sakralnya tempat ini. Aku berharap tidak ada penghuni kubur yang bangun malam ini demi mengganggu kami. Dan kalau pun hal itu yang harus terjadi, seperti kata Pak Rida tempo hari, itu artinya kami hanya perlu lari.

  "Apa kau mengantuk, Lus?" Kak Dijan menegurku.

  "Mulai, Kak."

  "Minum kopi, cuci mukamu, atau wudu saja sekalian supaya lebih segar."

  Aku mengangguk setuju. "Sudah juz berapa sekarang?"

  "Tiga puluh satu."

  "Saya sudah kurang tidur ini. Tolong."

  Kak Dijan malah menertawakan wajah kesalku. "Delapan belas, Saudara. Tenang. Jelang pagi nanti bacaan kita ini pasti kelar. Tetapi, biar mereka bertiga yang menyelesaikan. Kita tidur," imbuhnya seraya berbisik padaku. "Kalau nanti mereka coba membangunkan, kita pura-pura mati saja. Sepakat?"

  "Sepakat."

  "Bayaran kita juga cuma tiga ratus, Lus. Itu nominal yang paling minimal untuk tugas jaga makam selama satu malam. Satu kali khatam itu sudah lebih dari cukup. Yang jaga sampai seminggu saja hanya perlu menamatkan satu kali Al Qur'an. Gajinya juga dua ratus dalam semalam. Di sini kita hanya bertoleransi saja karena kita kenal betul kalau si mayat yang sudah berada di bawah kaki kita saat ini tidak songong selama hidupnya."

  Andai saja ada kertas kosong, maka aku akan tuliskan janji kesepakatan kami tadi. Aku juga akan meminta Kak Dijan untuk membubuhkan tanda tangannya di atas materai sepuluh ribu sebagai alat sumpat mulut.

  Ya, orang-orang yang berada di sini sekarang kelihatannya saja bahagia, sebenarnya mereka menderita. TPU bukanlah habitat asli manusia yang masih memegang nyawa di badannya. Seharusnya kami tidur nyaman di ayas kasur di rumah, meski kasurnya jelek atau bahkan pernya sudah mencuat ke luar arena, itu tiada masalah. Yang penting bisa kumpul dengan keluarga. Jadi, jika bukan karena rupiah, sudah lama tenda ini kami kosongkan.

  Aku pun lantas beringsut pelan menuju pintu tenda. Ketika kutengok keluar, ternyata tajaunya ditaruh agak jauh di samping pagar nan gelap, dekat pepohonan pisang yang subur. Di sini aku kontan menelan ludah.

  "Kenapa, Lus? Takut?" sindir Kak Dijan pula.

  "Tidak juga. Hanya saja kenapa tempat wudunya diletakkan di situ? Kejauhan, ih!"

  "Aku sengaja meletakkannya di situ tadi sore. Ini demi menguji keimanan orang-orang yang tinggal di tenda ini."

  "Oh, terus kenapa sejak awal Kakak tidak taruh saja tajaunya di bawah pohon beringin itu? Supaya lebih srek dan makin mantap iman kami, begitu."

  "Nantinya aku pula yang takut."

  "Persetan!"

  "Ingat, Lus!" seru Kak Dijan cepat sebelum aku sempat memasang sandal ke kakiku. "Sering-seringlah menengok ke belakangmu. Sebab, mereka suka muncul mendadak dari arah ... "

  "Kak Dijan, tolong. Bulan masih di atas kita dan saat ini kita sedang berada di tengah kuburan. Jangan cakap sembarangan. Tolong."

  Kak Dijan lantas terkekeh. Kutinggalkan saja pria itu agar sesegeranya aku dapat mencuci muka. Tentu, inilah detik-detik yang tak menyenangkan bagiku. Perjalanan menuju tajau air di samping pagar itu bagiku rasanya seperti aku sedang menempuh perjalanan pulang pergi dengan jalan kaki dari Batu Tangga sampai Barabai (jarak keduanya terentang sekitar 48 kilometer) tanpa istirahat. Tak terkira betapa takutnya aku saat ini.

  Aku membayangkan, bagaimana jika seandainya sebuah tangan ringkih dengan kulit dan daging yang sudah terkelupas tiba-tiba mencuat cepat dari dalam sebuah makam dan langsung memegangi salah satu kakiku yang kebetulan berlewat di atasnya. Fantasi hororku benar-benar sudah di level bangsat sekarang dan hal itu tak bisa kukompromi. Hingga akhirnya aku berhasil mencapai tajau itu, yang dari tempat itu masih dapat kudengar suara Kak Dijan yang sedang mengaji. Intinya aku berpendapat bahwa aktivitasku di luar tenda ini takkan memperoleh gangguan dari makhluk gaib yang jahat, sebab menurut cerita horor yang pernah kubaca saat aku masih TK, katanya para setan takkan berani mengganggu seseorang yang di sekitarnya sedang dilantunkan kalam-kalam Tuhan.

  "Assalamualaikum datu-datu," sapaku seadanya kepada para arwah yang mungkin sedang mengawasiku. "Tumpang cuci muka saya. Jangan ganggu saya, ya. Saya mau bersih-bersih saja." Demi Bu Rohania yang sudah mati, sekarang aku benar-benar macam balita yang masih digendong di antara dua buah dada.

  Asli, dah. Diri ini benar-benar macam bocah ingusan yang masih minta jajan sama ortu. Selama mencuci muka, tak henti-hentinya aku menoleh ke sebelah kiri, kanan, atau pun ke belakang. Aku sudah tak merasakan lagi dinginnya air tajau yang kusiramkan ke wajahku, yang ada hanyalah perasaan takut yang mencekal batang leherku. Aku takut kalau-kalau ada setan kuat yang datang ke arahku sementara nyaliku sedang tidak siap, lantas menangkap tanganku, lalu menyeretku ke dalam kuburnya.

  Aku sedikit merasa lega karena acara cuci muka sudah kuselesaikan. Wajah dan otakku kini terasa lebih segar, lebih bugar lagi. Mungkin efeknya hanya akan bertahan sebentar, tetapi lumayanlah. Lantas, aku pun bergegas meninggalkan tajau itu agar secepatnya tiba kembali di tenda.

  Namun, belum lagi aku melangkah lebih jauh, sekonyong-konyong aku seperti melihat sebuah siluet yang bergerak-gerak, berpindah-pindah sambil bersembunyi dari satu nisan ke nisan lainnya. Aku mencoba meyakinkan mataku dengan melihatnya secara seksama, namun benda itu masih saja menunjukkan pergerakan dan kali ini jaraknya semakin mendekati tenda kami.

  "Apa itu? Hantukah?" gumamku secara tak sadar.

  Aku tak mungkin berasumsi begitu jika belum melihat lebih jelas benda yang sedang bermain petak umpet itu. Dengan bantuan sinar rembulan yang cukup terang, ternyata benda itu memanglah bukan sebuah benda biasa, melainkan sesosok manusia yang terbungkus kain putih polos, sementara kakinya tampak seolah melayang-layang di udara!

  "Kak Dijan! Ada pocong, Kak!" teriakku.

  "Jangan omong sembarangan, Lus. Kita sedang di tengah TPU," jawab Kak Dijan dari dalam tenda.

  "Saya tidak bohong! Betul! Ada pocong, woi! Depan! Depan tenda, woi!"

  Pintu tenda pun akhirnya dibuka oleh Kak Dijan. "Sudah kubilang, jangan omong ... astagfirullahalazim!" ucap lelaki itu begitu ia sudah menampak sendiri sosok putih itu. Kulihat, roman lelaki itu langsung memucat.

  "Hihi!" hantu itu terdengar tertawa. "Ayyiyi,yiyi!"

  "Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari gangguan setan terkutuk macam dia! Allahu akbar!"

  "Ai!"

  "Itu setan kuat, Kak! Ayat Kursi, Kak!"

  "Aku lupa ayatnya!"

  "Nah, matilah kalian semua!"

  "Ayyiyi! Hah!"

  Makhluk menyeramkan itu lantas menyerang Kak Dijan tanpa pikir panjang lagi, dan sontak pula tubuh Kak Dijan langsung terdorong kembali masuk ke tenda dengan diiringi lolongan histeris oleh pria itu. Dari tempatku berdiri, aku bisa mendengar suara Pak Rida dan rekan-rekan lainnya yang ikut terbangun, terkejut, dan kontan berteriak minta pertolongan. Belum habis sampai di situ, aku juga bisa mendengar suara piring dan gelas-gelas yang pecah, cerek dan kompor beterbangan hingga ke luar tenda, lalu lampu stromking yang tadinya menyala tiba-tiba mati, dan terakhir tali-temali tenda terpal langsung putus hampir bersamaan. Melihat kengerian itu, aku tak mungkin nekat ambil risiko dengan menolong rekan-rekanku seorang diri. Dengan kata lain, aku harus segera keluar dari TPU ini untuk meminta bantuan warga terdekat.

  Namun, nyatanya belum sempat aku melarikan diri, tiba-tiba saja sebuah papan nisan melayang ke arahku dan hampir mengenai kakiku. Ketika kutengok ke arah sumbernya, aku malah mendapati satu sosok hantu lagi. Dan kali ini tampaknya hantunya lebih ganas dan badannya jauh lebih besar dibanding aku.

  "Huahahaha!" dia tertawa lepas.

  "Hantu keparat! Sini kau!"

  Rupa-rupanya setan itu merasa tersinggung atas umpatanku tadi. Dia lalu mencabut sebilah papan nisan lagi sebagai alat untuk melukaiku. Melihat hal itu aku pun terpaksa turut mencabut papan nisan yang terpancang di dekatku. Pertarungan pun dimulai!

  Serangan pertama kubuka dengan berlari ke arah hantu itu seraya menghunjamkan senjata ke perut targetku, namun hantu itu berhasil menangkisnya, lalu ganti menyerangku dengan menebas-nebaskan papan nisannya padaku. Untuk mengimbangi kegesitannya, aku pun harus bergerak mundur sambil menangkis serangan yang tak henti-hentinya digencarkan lawan. Sampai datanglah satu kesalahan, sebuah tebasan dengan mulus mendarat ke wajahku.

  "Kurang ajar!"

  Aku yang sudah kesakitan, dengan serta-merta langsung menerjang tubuh hantu itu, mencengkeram lengannya yang masih memegang senjata, menjatuhkan senjatanya, lalu mencekik leher lawanku sekuat tenaga seraya berlari maju sekencang-kencangnya, membuat tubuh hantu itu terdorong ke belakang karena harus mengimbangi gerakanku. Aku tak berhenti mencekik dan mendorong hantu itu sampai ke pagar seng TPU. Begitu menyadari bahwa hantu itu masih saja berusaha melakukan perlawanan, aku pun terpaksa membanting tubuhnya ke pagar itu hingga tiang penyangga sengnya ambruk. Setiba di luar inilah aku lantas memukuli hantu itu sampai kesadarannya hilang.

  Setelah kupastikan kalau hantu itu sudah kalah, aku pun bergegas melarikan diri menuju arah jalan raya. Sepanjang pelarianku ini aku tak lagi mendengar suara lolongan dari dalam tenda, yang mengindikasikan bisa saja keempat rekanku itu sudah tewas di tangan pocong biadab itu atau mungkin saja setan itu sudah memakan mereka dalam sekali suap. Aku tak lagi mampu membendung segala bayang akan cara kematian teman-temanku.

  Kurang dari setengah jam kemudian aku berhasil mengumpulkan sekelompok massa yang rata-rata terdiri dari para tokoh masyarakat. Tidak ketinggalan, ibuku dan si Monyai ternyata juga ikut hadir dalam kerumunan. Bersama, mereka lantas beramai-ramai datang ke TKP tempat kami diserang oleh dua makhluk jejadian tadi.

  "Hei, Lus! Kau bilang kau hajar hantu itu sampai sini, bukan? Mana hantunya?" tanya Pak Ramdani selaku kepala desa. Saking geramnya, pria itu bahkan sudah mencabutkan parang dari kumpangnya.

  "Alamak! Hantu itu sudah pergi!" seruku seolah tak percaya.

  "Kau jangan main-main, ya!"

  "Astaga, Pak! Saya yang adu jotos dengan hantu itu! Jadi, mana mungkin saya bohong! Ini buktinya! Muka saya hancur gara-gara disabet nisan oleh si genderuwo songong itu!" Aku jujur. Hantu yang kuhajar itu memang macam genderuwo. Badannya saja seperti seorang binaragawan. Hanya saja kulitnya hitam legam. "Mungkin hantu itu kembali terbangun dari pingsannya dan langsung menghilang dari pandangan kita, Pak!"

  "Kalau begitu, mari kita temui Pak Firdaus dan yang lainnya. Ayo!"

  Massa kembali bergerak, kali ini mereka berjalan menuju tenda kami yang sudah porak-poranda.

  "Astaga! Apa-apaan ini!" Pak Ramdani kembali berteriak.

  "Sudah saya bilang, ini akibat serangan pocong itu!" jawabku sengit.

  "Mana mungkin sepucuk pocong mampu mengalahkan empat lelaki ahli agama. Apalagi sampai merobohkan tenda."

  "Wajar saja, Pak Kades!" tukas Monyai pula. "Pak Rida dan yang lainnya hanyalah ahli agama, bukan ahli kungfu! Satu kali tindas pun kepala mereka sudah pening, kocak!"

  "Diam kau, Laknatullah! Nah, nah, lunak! Biji apa pula yang kuinjak ini? Aih!"

  Bersama teriakannya, Pak Kades langsung berlari mundur tatkala melihat sebuah penampakan yang tidak enak dipandang. Semua orang yang melihatnya pun lantas mengucap istigfar.

  "Ha! Rupanya pocong itu telah merudapaksa teman-temanmu, Lus! Sebentar lagi mereka akan hamil di luar nikah!" ujar Monyai seraya tertawa terpingkal-pingkal.

  Aku sendiri juga bahkan dibuat menggeleng saat melihat orang-orang yang sedang pingsan di antara gumpalan tenda. Bagaimana tidak? Keempat pria itu ternyata kami temukan sudah dalam keadaan setengah telanjang. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, yang jelas hantu pocong yang gila itu sudah memeloroti kain sarung mereka masing-masing, tanpa ketinggalan satu pun.

  "Ini pemerkosaan massal! Panggil polisi!" teriak Pak Kades dengan amarah yang meletup-letup.

  "Dan nantinya kau akan menjadi saksi atas kasus penyodomian ini, Lus," ejek Monyai. Anak edan itu lantas terkekeh-kekeh sambil menepam pundakku dengan erat.

  Penugasan kami di TPU akhirnya dihentikan saat itu juga. Sebuah ambulans pedesaan telah datang dan bersegera mengangkut para pasien yang malang. Aku juga, mewakili rekan-rekanku yang diberi mandat, dengan sangat terpaksa mengucapkan beribu kata maaf yang tak terhingga kepada Pak Zakky dan keluarga mendiang atas kejadian yang tak terduga ini. Dan untungnya, beliau dan keluarganya dapat memaklumi.

  Paginya keempat rekanku sudah kembali ke Batu Tangga. Mendengar kedatangan mereka, polisi pun langsung menemui serta menggiring mereka satu per satu ke kantor kepala desa. Dan tak terkecuali diriku.

  "Yang sedang tugas ngaji saat itu Dijan dan Calus, Pak Polisi," terang Pak Firdaus.

  "Giliran kami tepat jam dua malam. Begitulah kesepakatannya," Pak Rida menambahkan.

  "Benarkah itu, Pak Dijan?"

  "Benar, Pak Polisi."

  "Lus?"

  "Tepat begitu."

  "Lalu, apakah makhluk yang menyerang kalian tadi malam itu juga melecehkan kalian? Maksudnya apakah kalian menerimanya di saat kalian masih sadar?"

  "Saya tidak yakin bila hantu itu masih bernafsu dengan kami-kami yang sudah tua bangka ini, Pak Polisi," Pak Hamid ganti menjawab. "Saya sendiri juga tidak merasakan sakit di sekitar area lubang tahi atau mengalami lecet di batang ekor depan. Bagaimana dengan kalian, Bapak-Bapak?"

  "Kami juga tidak."

  "Jujur sajalah, Bapak-Bapak."

  "Anda tidak percaya, Pak Polisi?" tanya Pak Rida berang karena merasa diejek. "Apakah Anda perlu bukti? Baiklah. Ayo, teman-teman, mari kita buka sarung kita sama-sama di depan bapak ini!"

  "Eh, tunggu! Jangan asal main telanjang saja kalian, nah!" Pak Ramdani buru-buru berteriak mencegah sebelum keempat rekanku yang sudah pitam melepaskan pakaian bawah mereka. "Ini kantor kepala desa, Bapak-Bapak! Ini tempat suci! Dilarang bugil di sini!"

  "Salah Anda Pak Kades!" Pak Firdaus menjawab keras. "Mengapa pula Anda panggil petugas sengklek macam dia! Pulangkan saja! Hei, Pak Polisi, Anda sudah selesai dengan kami, bukan? Bagus! Kalau begitu minggat! Ih!"

  Monyai telah menungguku di luar pintu kantor desa dan bersamanya, aku lantas memisahkan diri dari rekan-rekanku.

  "Aku masih tidak percaya dengan semua yang telah menimpa kalian," ujar Monyai berceletuk.

  "Aku sendiri juga tak habis pikir," jawabku. "Bagaimana mungkin mayat yang sudah mati bisa hidup kembali?"

  "Apa kauyakin kalau dua makhluk yang mengganggu kalian itu merupakan hantu-hantu gentayangan?"

  "Aku bisa lihat cukup jelas kedua sosok bajingan itu!"

  Aku berhenti bicara tatkala seseorang mendadak berlari cepat di sebelahku. Suwardi, si anak kurang waras itu benar-benar hampir membuatku terkena serangan jantung.

  "Ayyiyi! Hihi!"

  Mendengar nada suara itu lantas membuatku semakin terkejut bukan main. Lalu, ketika aku melihat selembar mukena usang yang sedang dikenakan anak itu, maka barulah aku tersadar akan apa yang sebenarnya telah terjadi.

  "Lihat dia, Lus. Makin hari bukannya makin sadar, malah makin sableng," ucap Monyai. Aku mengangguk saja bersama serangkaian asumsi di dalam kepalaku. "Apa cita-citamu juga mau jadi macam dia?"

  "Apa kau bisa diam, Bung? Aku pusing ini! Pusing!"

  "Tidak bisa. Oh, ya, Lus. Bagaimana kalau setelah ini kita mampir ke kediaman Pak Martil?"

  "Memangnya apa yang kita dapat dengan mengunjungi rumah orang tua itu?"

  "Keganjilan."

  "Hah?"

  "Ya, anaknya yang seperempat sinting itu sudah kembali ke kandangnya pada dini hari tadi. Ya, dia kembali!"

  "Tumben? Biasanya dia baru pulang setelah dicari-cari dulu hingga berminggu-minggu."

  "Aneh, bukan? Makanya itu. Tetapi wajar saja dia pulang, soalnya dia sedang sakit."

  "Orang gila bisa sakit? Jangan bercanda, Monyai."

  "Sepertinya anak itu baru usai berkelahi dengan seseorang yang lebih kuat darinya, dan dia kalah. Dia pulang dengan membawa luka fisik yang cukup parah. Begitu yang kudengar dari obrolan warga di warung Bu Mega tadi pagi."

  "Tunggu dulu!" sergahku karena mendadak saja sebuah dugaan baru kembali menyadarkan otak sadarku. "Apa jangan-jangan ... "

  "Kenapa, Bung? Lihat mukamu! Pucat amat macam muka mayat Rohania."

  "Bagaimana kalau kita ke sana sekarang?"

  "Ke rumah Pak Martil?"

  "Ya. Sekalian ke kandang genderuwo gila."

  "Hah? Genderuwo gila? Sekarang? Ayo!"

Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Horor/Baur 2

Cerpen Horor/Baur 2